Archive for June 2014
Rasionalisme Rene Descartes
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
RASIONALISME RENE DESCARTES
KESIMPULAN
Rene
Descartes dalam filsafatnya mengemukakan metode kesangsian untuk
merenungkan terus sesuatu hal sampai tidak ada keragu-raguan lagi.Dia dijuluki sebagai “bapak filsafat modern” karena ia menempatkan akal
(rasio) pada kedudukan yang tertinggi, satu hal yang memang didambakan
oleh manusia di zaman modern. Filsafat Descartes – terutama konsep
tentang manusia – bersiat dualisme. Ia menganggap jiwa (res cogitans) dan badan (res extensa)
sebagai 2 hal yang terpisah. Konsep Descartes tentang manusia ini kelak
akan dikritik habis-habisan oleh salah seorang tokoh aliran Filsafat
Bahasa Biasa, Gilbert Ryle.
Menurut
Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas, maka
terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Bagi Descartes,
pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya sendiri. Untuk
mendapatkan sesuatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya,
Descartes menggariskan 4 langkah aturan sebagai berikut:
- Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
- Setiap persoalan yang diteliti dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
- Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks. Atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang komplek dan nisbi.
- Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.
Juga dalam karyanya yang termasyhur, Discourse on Method, risalah tentang metode, Descartes mengajukan 6 bagian penting sebagai berikut :
- Membicarakan masalah ilmu-ilmu dengan menyebutkan akal sehat yang pada umumnya dimiliki semua orang. Menurut Descartes, akal sehat ada yang kurang, ada pula yang lebih banyak memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas ilmiah. Metode yang ia coba temukan itu merupakan upaya untuk mengarahkan nalarnya sendiri secara optimal.
- Menjelaskan
kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam
aktivias ilmiah. Bagi Descartes, sesuatu yang dikerjakan oleh satu orag
lebih sempurna daripada yang dikerjakan oleh sekelompok orang secara
patungan. Descartes mengajukan 4 langakha yang dapat mendukung metode
yang dimaksud, yaitu sebagai berikut :
- Janganlah pernah menerima baik apa saja sebagai benar, jika anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya.
- Pecahkanlah tiap kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yag dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
- Arahkan pemikiran anda secara tertib, mulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit ke pengetahuan yang paling kompleks.
- Buatlah penomoran untuk seluruh permalasalahan selengkap mungkin, dan tinjau ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak sesuatupun yang ketinggalan.
- Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode sebagai berikut:
- Mematuhi undang-undang dan adat-istiadat negeri, sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.
- Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun pendapat yang paling meragukan.
- Berusaha lebih mengubah diri sendiri daripada merombak tatanan dunia.
- Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acapkali terkecoh oleh indera.
- Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas 2 substansi, yaitu jiwa bernalar dan jasmani yang meluas.
- Dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan spekulatif dan pengetahuan praktis.
Pada
mulanya Descartes tidak puas dengan pengetahuan umumnya dengan alasan
bahwa misalnya panca indera itu banyak sekali membohong, oleh sebab itu
tidak boleh dijadikan dasar pengetahuan.
Yang
dapat dipercaya kebenarannya adalah pikiran manusia, misalnya dalam
ilmu pasti. Dalam waktu kecewa pada kebenaran pengetahuan yang
berlangsung selama 9 tahun, timbul suatu pertanyaan pada dirinya sendiri
yang tidak bisa dimungkiri lagi. Pertanyaan itu adalah: saya berakal,
jadi saya ada, sebagai makhluk yang kecewa. Itulah permulaan aliran
pikiran rasionalisme modern.
Descartes
menganggap ilmu pasti, ilmu yang paling utama dari segala ilmu
pengetahuan, karena segala pokok ilmu pengetahuan bisa ditemukan dalam
ilmu tersebut.
Ahli-ahli
filsafat rasionalisme ini ada 4, yaitu Descartes, Spinoza, Leibnitz,
dan Wolf. Mereka dalam usaha mencari kebenaran dengan menggunakan
perantaraan akal, dengan tandas mengakui bahwa pada hakekatnya mereka
bertemu dengan adanya Tuhan, sebab buat Tuhan hanya ada satu kebenaran
saja.
Descartes
juga tidak mengadakan pendapat baru, hanya merubah haluan filsafat
serta mendatangan pembaharuan. Kalau filsafat itu di atas dasar pikiran
Aristoteles, maka Descartes mendudukkannya di atas fundamen ilmu
pengetahuan, terlepas dari pelbagai prasangkaan dan kepercayaan yang
tidak berdasar pada kebenaran.
Cara yang ditempuhnya ialah menjadikan dasar filsafat itu kesangsian. Untuk
itu dia menggunakan senjata ragu, tidak percaya kepada sesuatu sehingga
langit yang menanunginya itu pada mulanya tidak dipercayainya, demikian
juga bumi tempat dia berpijak tidak dipercayainya.
Metode
keraguan ini dipergunakan sebagai sistem mencari kebenaran, dan
bukannya ia ragu benar-benar. Sifat ragu-ragu pada manusia itu
diteruskannya dengan sangat, sampai akhirnya ia ragu pada undang-undang
mathematik seperti logika, aljabar dan ilmu ukur yang sudah ditetapkan
kebenarannya oleh pengetahuan manusia.
Dua
pertanyaan yang dikemukakan Descartes dalam ijtihadnya menetapkan
adanya Tuhan yang menjadikan alam semesta ini. Pertama: benarkah ada
Tuhan? kedua, apakah Tuhan yang ada itu?
Untuk
mengenal adanya Tuhan, Descartes perlu menempuh jalan yang belum pernah
dilalui orang lain menurut jalan berfikirnya. Seorang harus terlebih
dahulu melepaskan dirinya dari tubuhnya kemudian mencari kebenaran di
dalam lautan diri yang telah terlepas dari jasmani. Hal itu bukan saja
untuk mengetahui di luar diri sendiri, tetapi juga demikian untuk
mengetahui dirinya yang sebenarnya.
Kepastian
bahwa ia adalah “sesuatu yang berpikir” yang memberi Descartes landasan
yang ia perlukan untuk membangun bangunan pengetahuan. Ia telah
mendirikannya dengan metode ragu dan dengan memakai apa yang disebutnya
dengan “cahaya nalar”. Ia terus menawarkan dua argumen untuk eksistensi
Tuhan. Argumen pertama dimulai dari kesadarannya akan dirinya sendiri
sebagai yang ada yang karena keraguannya, tidak sempurna namun mampu
membuat gagasan tentang Tuhan sebagai wujud yang sempurna.
KESIMPULAN
Rasionalisme
dipelopori oleh Rene Descartes yang disebut sebagai bapak filsafat
modern. Ia berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
adalah akal. Dalam filsafatnya ia mengemukakan metode kesangsian untuk
merenungkan terus sesuatu hal sampai tidak ada keragu-raguan lagi.
Menurut Descartes, untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas,
maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Cara yang
ditempuhnya ialah menjadikan dasar filsafat itu kesangsian. Metode keraguan ini dipergunakan sebagai sistem mencari kebenaran, dan bukannya ia ragu benar-benar.
Untuk
mengenal adanya Tuhan, menurutnya seseorang harus terlebih dahulu
melepaskan dirinya dari tubuhnya kemudian mencari kebenaran di dalam
lautan diri yang telah terlepas dari jasmani.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Drs, 1994, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Collinson, Diane, 2001, Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muntasyir, Rizal, Drs, M.Hum dan Drs. Misnal Munir, M.Hum, 2003, Filsafat ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, Rizal, Drs, M.Hum, 2001, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The Liang Gie, 1991, Pengantar Filsafat ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.
Yaqub, H. Hamzah, dr, 1992, Filsafat Agama, Titik Temu Akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Zubaedi, Dr, M.ag, dkk, 2007, Filsafat Barat dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Postmodernisme
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
POSTMODERNISME
Dunia saat ini sedang bergejolak, khususnya dalam bidang filsafat,
ilmu, seni dan kebudayaan. Manusia merasa tidak puas dan tidak dapat
bertahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernisme dianggap sudah usang
dan harus diganti dengan paradigma baru yaitu posmodernisme.
Posmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide
zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan).
Posmodern memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan
sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang
penyiaran. Posmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah
menyebabkan desentralisasi di bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal
ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu, posmodern
menganggap media yang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang sama
dan saling meniru satu sama lain.
Wacana posmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan bukunya The Postmodern Condition : A Report on Knowledge (1979).
Posmodern pada awal kelahirannya merupakan kritik terhadap arus
modernism yang semakin menggusur humanisme dari manusia sendiri,
melahirkan materialism dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan
menguras semangat serta nilai masyarakat. Posmodernisme beraksi terhadap
inti filsafat modernism; Idealisme Descartes, Empirisisme Locke, dan
Eksistensialisme Husserl, analisis logis Newton dan metode ilmiah
Prancis Bacon.
Francois Lyotard mengatakan bahwa posmodernisme merupakan
intensifikasi yang dinamis, yang merupakan upaya terus menerus untuk
mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang
dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar, berupa penolakannya
terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk
pemikiran totalitas, seperti Hegelian, Liberalisme, Marxisme, dan
lain-lain. Posmodern dalam bidang filsafat dapat diartikan segala bentuk
refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
Posmodernis awal, Nietzsche, mengkritik Modernism (sains) sebagai
kecurangan yang mengklaim kebenaran yang tetap, netral dan objektif
padahal sesuatu itu adalah mustahil. Bagi Nietzsche, penjelasan ilmiah
bukan penjelasan yang sebenarnya; itu hanya menghasilakan deskripsi yang
rumit. Sedangkan Foucault curiga bahwa sains bukan disiplin netral
seperti diklaim kaum Modernis, ada banyak teori bersaing dan
berkompetisi disana. Sedangkan Baudrillard curiga terhadap peran media
massa sebagai wujud dari modernisasi yang telah banyak melakukan
kebohongan. “Apakah kita benar-benar melihat apa yang terjadi? Siapa
mengatakan hal itu? Begitu kecurigaan Baudrillard. Bahkan ia curiga
bahwa perang teluk hanyalah drama layar kaca, tidak benar-benar terjadi.
” Peperangan modern adalah peperangan cyber,”. Menurut kaum posmodernis
Ia adalah sebuah rekayasa penuh kepentingan dari agenda kapitalisme.
Baudrillard melihat kapitalisme sebagai ssuatu yang mengubah manusia
menjadi benda.
Menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, posmodernisme menganggap
modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain:
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya.
Kedua, ilmu
pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi
yang seringkali mendahului hasil penelitian.
Lima paradoks yang digarisbawahi Ahmed antara lain ialah (Akbar S.
Ahmed; 2002) : masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme,
tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat;
masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang
belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan
Negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama,
tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan
agama.
Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada
semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar– bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi
manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala
kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan
terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
DanKelima,
ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan
metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut
fisik individu.
Posmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah
yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita
semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain yang berada di
luar wacana hegemoni. Posmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk
tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman
perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa
proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai
banyak “sentral”).
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan
hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan
saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar
material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan
saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan
sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk
melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat
hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika”
seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan
suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya
gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana
sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan
bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi
modern dalam beberapa hal, yaitu :
1) kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi
sosialekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes,
Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk
secara sewenangwenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip
kapitalisme;
2) modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika
menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang
sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan
suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
3) erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi
perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya
memperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar
material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru
berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat
rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan
yang mereka hadapi.
Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan
yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran
pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme,
etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman
orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan
suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu
paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih
merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk
lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk
secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum
tentu benar.
CIRI-CIRI POSMODERNISME
Akbar S. Ahmed mengatakan terdapat delapan karakter sosiologis posmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu,
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas;
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme
kebenaran.
Dua,
meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari
sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan
dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah
menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku
orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga,
munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga
sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap
kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi
janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi
adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima,
semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan,
dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku
bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat
negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran
pinggir”.
Enam,
semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
posmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era
posmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan
secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan,
bahasa yang digunakan dalam waacana posmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
posmodernisme” banyak mengandung paradoks
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum. Pustaka Setia, Bandung.
Akbar S. Ahmed. Posmodernisme and Islam. 1992
Bambang Sugiharto. Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta. Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. 1980.
Bambang Sugiharto. Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta. Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. 1980.
Fenomonologi
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
Fenomonologi
Edmun
Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah
seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan
melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia
selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen,
konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”-
kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan
yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap
objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita
membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita
“mengambil jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari
pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek
itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat
intuisi dalam diri kita.
Fenomen
atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan
bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu
fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen
dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk
sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat
fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya
sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas
di hadapan kita.
Secara
harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan
objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat.
Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal
yang disebut konstitusi.
Filsafat
Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang
dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai
hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Para
ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam
mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai
pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam
pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang
diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan
demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat
pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha
menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a. Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b. Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal,
fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum
mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi
kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua
reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat
reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan
yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha
mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).
Strukturalisme
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
Strukturalisme
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai
pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu
struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan
pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan
sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan
hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui
pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti
dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur
pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040). Gagasan-gagasan strukturalisme
juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi
interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan
ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi
metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya
yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem
filosofis. (Bagus, 1996: 1040)
Sejarah dan Perkembangan
Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama selain Claude Levi-Strauss, yaitu Micheal Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran ini muncul ketika filsafat eksistensialisme mulai pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta perorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan memperbaiki keadaan tersebut tidak berdaya dihadapkan pada kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan keseimbangan struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis menyangsikan istilah-istilah kaya kunci eksistensialis seperti, "manusia", "kesadaran intensional", "subyek", "kebebasan", "otonomi" dan menggantinya dengan istilah-istilah mereka, yaitu: "ketidaksadaran", "struktur", "diskursus", "penanda" dan "pertanda".
Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan struktur. Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Sejarah dan Perkembangan
Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Strukturalisme berkembang pesat di Perancis dengan tokoh-tokoh utama selain Claude Levi-Strauss, yaitu Micheal Foucault, J. Lacan, dan R. Barthes. Aliran ini muncul ketika filsafat eksistensialisme mulai pudar. Masyarakat yang semakin kaya dan dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis mapan dan terkomputerisasi memudarkan aliran humanisme romantis eksistensialis yang berkisar pada subyek otonom, daya cipta perorangan, penciptaan makna, dan pilihan proyek masa depan serta dunia bersama sebagai tempat tinggal yang manusiawi. Usaha eksistensialisme untuk mengubah dan memperbaiki keadaan tersebut tidak berdaya dihadapkan pada kenyataan-kenyataan struktur yang makin kuat yang mengutamakan kemantapan dan keseimbangan struktural daripada dinamika kreatif dari si subyek. Dengan diilhami oleh Marx dan Freud, para strukturalis menyangsikan istilah-istilah kaya kunci eksistensialis seperti, "manusia", "kesadaran intensional", "subyek", "kebebasan", "otonomi" dan menggantinya dengan istilah-istilah mereka, yaitu: "ketidaksadaran", "struktur", "diskursus", "penanda" dan "pertanda".
Meskipun banyak pertentangan antara eksistensialisme dan strukturalisme tapi ada juga yang saling melengkapi. Dalam pandangan strukturalis manusia terjebak dalam suatu struktur budaya yang dijalinnya sendiri. Ketika manusia lahir ia sudah ada dalam suatu struktur, ia memiliki peran, meskipun kemudian ia mampu memilih atau membuat sendiri sebuah struktur, tapi ia kembali akan terjebak di dalamnya. Pandangan ini mirip dengan faktisitasnya Heidegger dimana manusia terlempar ke dunia tanpa bisa dirundingkan lebih dulu. Perbedaannya faktisitas mengandaikan adanya kebebasan yang menegaskan eksistensialitas manusia. Sedangkan keterjebakkan manusia dalam jaring-jaring struktur mengandaikan hilangnya unsur subyek dan obyek, semua hanyalah bagian dari tenunan struktur. Strukturalisme begitu berpengaruh pada pemikiran di kalangan ilmuwan sosial di tahun 1960-an, terutama di Perancis. Era strukturalisme ini muncul setelah era eksistensialisme yang marak setelah Perang Dunia II. Strukturalisme melakukan beberapa kritik terhadap eksistensialisme dan juga pemikiran fenomenologi. Strukturalisme dianggap menghancurkan posisi manusia sebagai peran utama dalam memandang dan membentuk dunia.
Materialisme
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
Materialisme
Materialisme
adalah salah satu paham filsafat yang banyak dianut oleh para filosof,
seperti Demokritus, Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini
menganggap bahwa materi berada di atas segala-galanya dan biasanya paham
ini dihubung-hubungkan dengan teori atomistik yang berpendapat bahwa benda-benda
tersusun dari sejumlah unsur. Ketika paham ini pertama muncul, paham
tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat
yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar
abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di Barat karena sudah banyak
para filosof yang menganut paham tersebut. Walaupun teori sudah banyak
dianut para filosof, teori ini masih banyak ditentang oleh para tokoh
agama karena paham ini dianggap tidak mengakui adanya Tuhan dan dianggap
tidak dapat melukiskan kenyataan.
Pengertian dan Beberapa Ajaran Materialisme
Materialisme seringkali
diartikan sebagai suatu aliran filsafat yang meyakini bahwa tidak ada
sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pikiran, roh, kesadaran dan
jiwa tidak lain hanyalah materi yang sedang bergerak. Menurut mereka,
pikiran memang ada tetapi tak lain disebabkan dan sangat tergantung pada
perubahan-perubahan material. Intinya, mereka menganggap bahwa materi
berada di atas segala-galanya. Beberapa pendapat mereka yang lain
adalah:
-
-
-
-
Tidak ada sesuatu yang bersifat non-material separti roh, hantu, setan, malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada.
-
Tidak ada Tuhan atau dunia adikodrati (supranatural). Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi aktivitas materi.
-
Setiap peristiwa mempunyai sebab material, dan penjelasan material tentang semua itu merupakan satu-satunya penjelasan yang tepat.
-
Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Sebab Pertama atau Penggerak Pertama.
-
Bentuk material dari barang-barang dapat diubah, tapi materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan.
-
Tidak ada kehidupan yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi dalam suatu peralih-wujudan kembali yang abadi dari materi.
-
-
-
Sejarah Perkembangan Materialisme
Pada awalnya, materialisme
tidak mendapat banyak perhatian karena dianggap aneh dan mustahil. Baru
pada abad pertengahan abad 19, materialisme tumbuh subur sekali di
Barat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut antara
lain:
-
Orang dengan paham materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas ilmu pengetahuan.
-
Paham materialisme berpegang pada kenyataan-kenyataan yang mudah dimengerti, bukan pada dalil-dalil abstrak.
-
Teori-teorinya jelas berdasarkan teori-teori pengetahuan yang sudah umum.
Namun, paham materialisme
banyak ditentang oleh para tokoh agama karena terang-terangan tidak
mengakui Tuhan. Seorang anti-materialisme bernama Friedrich Paulsen
berkata “Kalau materialisme itu benar, maka segala sesuatu di dunia ini
akan dapat diterangkan, termasuk bagaimana atom membentuk teori
materialisme itu sendiri yaitu dapat berfikir dan berfilfasaf”. tenyata
hal itu sama sekali tak dapat diterangkan oleh kaum materialisme.
Filsafat
materialisme inilah yang mempengaruhi filosof alam dalam menyelidiki
asal-usul kejadian alam ini. Di antara filosof-filosof alam tersebut
adalah:
-
Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah air.
-
Anaximandros (610-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah apeiron, yaitu unsur yang tak terbatas.
-
Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah udara.
-
Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
-
Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah atom-atom yang amat banyak dan halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal kejadian alam semesta.
Kaum
materialisme menyangkal adanya jiwa atau roh, mereka menganggapnya
hanya sebagai pancaran materi. Thomas Hobbes (1588-1679), seorang ahli
pikir Inggris beralasan bahwa seperti perjalanan yang tidak lepas dari
orang yang berjalan, demikian juga gagasan, sebagai sesuatu yang
bersifat rohani juga tidak lepas dari organisme yang berpikir, yang
mempunyai gagasan. Materialisme pada abad 18 dan 19 seringkali sangat
bersifat mekanistis, seperti pernah diutarakan oleh Holbach (1723-1789)
bahwa segi manusia yang tidak kelihatan disebut jiwa, sedangkan segi
alam yang tidak kelihatan disebut Tuhan.
Materialisme Dialektika
Di negara-negara komunis, materialisme dialektika merupakan filsafat resmi negara, disingkat menjadi “ diamat ”
(dialektika materialisme). Secara singkat, dialektika beranggapan bahwa
segala perubahan yang terjadi di alam semesta adalah akibat dari
konflik persaingan dan kepentingan pribadi antar kekuatan yang saling
bertentangan.
Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar
bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels
(1820-1895), sedangkan W.E. Lenin mengembangkannya lebih lanjut. Marx
dan Engels menggunakan dialektika untuk menjelaskan keseluruhan sejarah
dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan senantiasa didasarkan
pada konflik, yang terutama antara kaum buruh (proletar) dan masyarakat
kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum buruh pada akhirnya akan
menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk mereka adalah bersatu dan
melakukan revolusi. Sebelum Marx juga telah ada seorang perintis benama
Tschernyschewski (+1889).
Sarjana ini melawan dualisme jiwa-badan dengan berpendapat bahwa
manusia dapat diterangkan secara tuntas dengan bantuan ilmu kimia dan
fisiologi. Yang dianggap sebagai rohani sebenarnya adalah sifat
keteraturan dalam organisme yang memberikan reaksi.
Tschernyschewski
juga mempengaruhi gurunya Ivan Pavlov (1845-1936). Pavlov melakukan
serangkaian eksperimen terhadap anjing yang dibiasakan untuk diberi
makanan sambil dibunyikan bel. Anjing tersebut mengeluarkan air liur.
Lama-kelamaan, anjing tersebut berliur hanya karena mendengar bel tanpa
ada makanan. Pavlov menyebut refleks ini (berliur karena mendengar bel)
sebagai refleks bersyarat. Dari sini Pavlov berpendapat bahwa seluruh
proses belajar hewani dapat diterangkan lewat refleks-refleks bersyarat.
Marx,
Engels dan Lenin juga mengakui bahwa alam rohani mempunyai sifat-sifat
khas, tetapi secara dialektika ini tergantung kepada materi. Faham
materialisme kuno menjadikan mesin sebagai ukuran untuk menerangkan
alam, kehidupan hewani dan manusia. Pendekatan ini tentu tidak memadai
karena dunia hendaknya dipandang sebagai suatu proses yang dinamis.
Dalam
dialektika alam raya, perkembangan dan penjumlahan kwantitatif pada
suatu ketika berbalik secara dialektik dan terjadi suatu perubahan
kwantitatif. Lompatan kwantitatif dari energi menjadi unsur kimia. Terus
menjadi zat hidup terus lagi menjadi roh merupakan tahap-tahap
dialektika dalam alam kebendaan yang dinamis. Tak ada materi tanpa gerak
dan dalam perkembangan ini segala sesuatu saling bertalian, tak ada
satu gejala yang dapat dimengerti lepas dari gejala-gejala lainnya
(lewat abstraksi-abstraksi kita hanya membuat momen-momen saja).
Demikianlah teori Hegel diputar dan ditegakkan secara dialektika. Bukan
materi yang merupakan hasil dari roh yang berkembang secara dialektika
melainkan sebaliknya.
Hegel
mengambarkan bagaiman roh mengasingkan diri dari dirinya sendiri karena
dalam kenyataan semakin menjadi lahiriah. Hal ini terutama
ditampilkannya dalam konsep tentang materi. Menurut Marx pun terjadi
semacam pengasingan. Pengasingan itu tak lain adalah kesadaran manusia
yang menyatakan diri lewat kerja sama sosial di dalam obyek yakni
produk. Produk itulah kesadaran sosial yang terasing terhadap dirinya
sendiri. Jadi pengasingan ini niscaya tetapi setiap kali harus
dinetralisir lagi dengan menyadarinya. Kesadaran manusia ditentukan oleh
keadaan sosialnya dan proses penyadaran diri itu tidak berarti bahwa
manusia mengotak-atik hal-hal rohani seperti Hegel melainkan bahwa ia
berbuat sesuatu, terdorong oleh kesadaran sosial menuju hari depan.
Ide-ide,
menurut Marx tak lain adalah terjemahan barang-barang material yang
mengendap dalam kepala manusia. Dan ideologi-ideologi merupakan
pengelompokan ide-ide. Ideologi-ideologi selalu bersifat konservatif,
ingin mempertahankan konstelasi sosial tertentu (feodalime, kapitalisme)
dengan menyelimuti kenyataan sosial atau mempercantiknya (misalnya
dalam faham idealisme hal ini terjadi dengan bantuan filsafat.
Bandingkan juga “agama merupakan candu bagi masyarakat”). Hanya
materialisme dialektikalah yang merupakan suatu ideologi progresif yang
mengungkapkan praxis sosial secara murni dan yang sebaliknya juga
merangsang kemajuan sosial.
Dari sini
dapat kita simpulkan bahwa materialisme dialektika berlawanan dengan
materialisme kuno yang justru ingin mengakui subyek yang aktif, manusia
dijadikan kunci memahami alam raya dan materi. Gambaran dialektika
mengenai materi dan evolusi kehidupan yang baru dapat dimengerti dari
titik akhir evolusi itu ialah dorongan sosial menuju negara sosialis
yang mereka anggap membahagiakan. Materialisme dialektika ini ternyata
memperlihatkan kekurangan khususnya dalam tulisan Lenin dan Stalin
karena kesadaran dilukiskan sebagai pencerminan terhadap alam kebendaan.
Marx dalam tulisan-tulisan awal menunjukkan hal lain justru karena
demikian menghargai kehidupan sosial serta memberikan peranan aktif
kepada kesadaran dan idelogi. Maka ia menyimpulkan bahwa kesadaran itu
biarpun tidak boleh ditafsirkan secara idealistis dan lepas dari
kehidupan sosial, namun tidak lebih rendah dari materi atau tergantung
pada materi.
Kesimpulan
Materialisme adalah salah satu paham
filsafat yang banyak dianut oleh para filosof, seperti Demokritus,
Thales, Anaximanoros dan Horaklitos. Paham ini menganggap bahwa materi
berada di atas segala-galanya. Ketika paham ini pertama muncul, paham
tersebut tidak mendapat banyak perhatian karena banyak ahli filsafat
yang menganggap bahwa paham ini aneh dan mustahil. Namun pada sekitar
abad 19 paham materialisme ini tumbuh subur di Barat karena sudah banyak
para filosof yang menganut paham tersebut.
Filsafat
materialisme inilah yang mempengaruhi filosof alam dalam menyelidiki
asal-usul kejadian alam ini. Di antara filosof-filosof alam tersebut
adalah:
-
Thales (625-545 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah air.
-
Anaximenes (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah udara.
-
Heraklitos (540-475 SM) berpendapat bahwa unsur asal adalah api.
-
Demokritus (460-360 SM) berpendapat bahwa hakikat alam adalah atom-atom yang amat banyak dan halus. Atom-atom itulah yang menjadi asal kejadian alam semesta.
Sedangkan
materialisme dialektika secara singkat dapat diterangkan sebagai paham
yang berkeyakinan bahwa segala perubahan yang terjadi di alam semesta
adalah akibat dari konflik persaingan dan kepentingan pribadi antar
kekuatan yang saling bertentangan. Ahli-ahli pikir yang meletakkan dasar
bagi sistem ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan Friederich Engels
(1820-1895). Marx dan Engels menggunakan dialektika untuk menjelaskan
keseluruhan sejarah dunia. Marx menyatakan bahwa sejarah kemanusiaan
senantiasa didasarkan pada konflik, yang terutama antara kaum buruh
(proletar) dan masyarakat kelas atas (borjuis). Ia meramalkan bahwa kaum
buruh pada akhirnya akan menyadari bahwa harapan satu-satunya untuk
mereka adalah bersatu dan melakukan revolusi. Di negara-negara komunis,
materialisme dialektika merupakan filsafat resmi negara.
Eksistensialisme
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin
Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan
akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh
Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli
filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855)
filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang
individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis
eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan
jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu
yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi
dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia
unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai
keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu
reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa
manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut
idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu
kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus
berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan
lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar,
sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri sendiri
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran
filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya
antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean
Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik
pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis
lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu
menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan
jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk
bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan
refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan
sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya
dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk
dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum
eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia
secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan
tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah
pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang
memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk
karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup,
cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari
sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah
akibat perang dunia kedua.[1] Dengan demikian Eksistensialisme pada
hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan
keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki
dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat
eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia
pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral.”[2]
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme
adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis
atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan
rasional.[3] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang
dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak
mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif.
Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang
tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai
keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme
atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas dari
norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to[4] adalah lebih banyak
menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris
dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.”[5]
Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk
pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep
pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai
“Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F.
Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan
Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli
pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan
aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat
pendidikan.
Pandangan eksistensialisme adalah:
Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan ke pribadian
Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup
Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan ke pribadian
Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup
Positivisme
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
Positivisme
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan
telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan
dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk
mendapatkannya. Tradisi
pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis
dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya
mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar
sebagiamana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas
pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk
apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.
a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab
oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat
diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality).
Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal
yang nyata (what is nature of reality?).
b. Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan
adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer)
dan objek yang ditemukan (know atau knowable)?
c. Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam
suatu kegiatan penelitian.
d. Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan
dalam penelitian.
e. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana
cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu
ilmu pengetahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan
menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan
dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.
Positivisme merupakan
paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu
pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini
adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas
tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada
abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang
terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy
(1830-1842).
Menurut Emile Durkheim
(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem
politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar
kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran
itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden
penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran
(penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang
diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang
bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di
belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga
objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian
menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang
diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian
objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap
bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung
positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun
pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition)
haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat
di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat
di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat
di/ter-ramalkan (predictable).[1]
Paradigma positivisme
telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran
yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika
terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan
kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam
pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang
ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[2]
Setelah positivisme ini
berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun), kemudian berkembang sejumlah
‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan pengembangan ilmu dalam berbagai
bidang kehidupan.
B.
Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara
metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
harus menggunakan metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau
peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan,
seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal
yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di
belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme
empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran
ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara
paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari
positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah
positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam
bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah
satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui
berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai
objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai
cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada
paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya
benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti
realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah
kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan
akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh
yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak
mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap
masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena
relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang
pasti postpositivisme mengakui bahwa
paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya,
relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya
berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar.
Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal
sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat,
karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan
ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran
yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak
ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas
tidak menjamin untuk mencapai kebenaranEmpirisme
By : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
Empirisme
Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman.
Di antara pemahaman tersebut antara lain:
Empirisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan
bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika
dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah
David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman Sementara
menurut A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran
dalam filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan
atau parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para
penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para
penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-pendapat para
penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-kepastian yang
bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme, metode ilmu
pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori, yaitu
metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau adanya
kemudian.
Bagi
penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah pengalaman
lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang menyangkut
pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi dan bertugas
untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang diperoleh melalui
pengalaman.
B. Ajaran-ajaran pokok Empirisme Yaitu:
a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
c. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
d. Semua
pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak
langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional
logika dan matematika).
e. Akal
budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas
tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita.
Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari
pengalaman.
f. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
C. Beberapa Jenis Emperisme
1. Empirio-Kritisisme
Disebut
juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyaktif-idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti
aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman dari
konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai
pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia
sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi
(pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan
kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena
dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti
metafisik.
.. Empirisme Logis
Analisis
logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem
filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan
berikut:
a) Ada
batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip
kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada
pengalaman.
b) Semua
proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada
proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan
data indera yang ada seketika
c) Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
3. Empiris Radikal
Suatu
aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai
pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian
itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau
masalah kekeliruan melawan kebenaran telah menimbulkan banyak
pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum dapat menerima
pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita
suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa
pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak
ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada
dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak hanya
berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin.
Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang
pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap
benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.
Metode
filsafat ini butuh dukungan metode filsafat lainnya supaya ia lebih
berkembang secara ilmiah. Karena ada kelemahan-kelemahan yang hanya bisa
ditutupi oleh metode filsafat lainnya. Perkawinan antara Rasionalisme
dengan Empirisme ini dapat digambarkan dalam metode ilmiah dengan
langkah-langkah berupa perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir,
penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan.
D. Tokoh-tokoh Empirisme
Aliran
empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes
(1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya,
John Locke dan David Hume