- Back to Home »
- Fenomonologi
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
17 Jun 2014
Fenomonologi
Edmun
Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah
seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan
melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia
selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen,
konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”-
kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan
yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap
objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita
membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita
“mengambil jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari
pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek
itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat
intuisi dalam diri kita.
Fenomen
atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan
bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu
fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen
dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk
sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat
fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya
sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas
di hadapan kita.
Secara
harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang
menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang
langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”.
Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan
objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat.
Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal
yang disebut konstitusi.
Filsafat
Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang
dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai
hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Para
ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam
mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai
pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam
pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang
diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan
demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat
pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha
menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a. Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b. Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal,
fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum
mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu
dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi
kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua
reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat
reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan
yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha
mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).