- Back to Home »
- Filsafat Abad Modern »
- Jean Paul Satre
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
26 May 2014
Jean Paul Satre
Biografi Jean Paul Satre
Lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Sartre kecil yang biasa dipanggil Paulou, memiliki fisik lemah dan sangat sensitif. Seperti anak berfisik lemah dia suka menyendiri dan melamun. Masa kecilnya terkesan pahit bagi dia karena sering menjadi korban anak yang lebih kuat. Walaupun begitu, ia
dikenal sebagai murid yang cerdas. Ayah kandungnya meninggal saat dia berumur dua tahun. Dia dan ibunya lalu hidup bersama kakeknya, seorang guru besar di Universitas Sarbone. Saat berumur dua belas tahun ibunya menikah lagi. Hal ini member pukulan baginya. Beberapa saat kemudian dia tidak lagi mempercayai keberadaan Tuhan dan terang-terangan menentang pandangan kakek dan ayah tirinya.
Pada usia yang ke tujuh belas tahun, ia memulai enam tahun studinya di Universitas Sarbone untuk mendapat aggregation, suatu ujian yang member peluan karier akademis dalam filsafat. Pada 1928 ia gagal dan parahnya mendapat peringkat terakhir dikelasnya. Namun, dari penundaan itu ia bertemu simone de Beauvoir, seorang tokoh feminis yang menjadi kekasih seumur hidup mereka sering bersama dan menjadi kekasih intelektual juga. Sartre lulus sebagai peringkat pertama pada ujian tersebut dan Simone de Beauvoir peringkat sesudahnya. Pada tahun 1929 mengikuti wajib militer. Ia sempat ditahan Nazi pada 21 juni 1940 hingga akhirnya melepaskan diri pada maret 1941.
Pada tahun 1964 ia diberi hadiah nobel sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 april 1980 disebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau ada dan ketiadaan.
Jean –Paul Sartre terkeneal sebagai salah satu tokoh kunci dan filsafat eksistensialisme. Filsafat yang popular setelah masa perang dunia. Oleh karena itu,menjelajahi alam pemikirannya sangatlah penting dalam kajian eksistensialisme.
PEMIKIRAN
Banyak yang berjuang demi kebebasan, kenapa justru bagi Jean Paul Sartre kebebasan adalah hukuman kita, manusia. We are condemned to be free. Condemn, because he did not create himself, yet, in other respect is free, because once thrown into the world, he is responsible for everything he does. Kita dikutuk untuk bebas. Dikutuk, karena manusia tidak menciptakan dirinya, tetapi dilain sisi bebas, sebab sejak terlempar ke dunia, manusia bertanggung jawab atas semua yang dia lakukan. Begitulah ungkap Jean Paul Sartre, seorang filsuf prancis yang terkenal dengan keyakinannya bahwa manusia sepenuhnya bebas, manusia adalah kebebasan mutlak.
Pendapatnya yang paling dasar bahwa manusia sepenuhnya bebas. Maka eksistensinya mendahului esensi. Oleh karena itu, tidak ada kodrat manusia yang tetap. Manusia bebas, manusia adalah kebebasan. Dia menggunakan metode fenomenologi mencoba menangkap fenomena dunia sealami mungkin.
Atas sekian banyak tuduhan yang dialamat kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia geluti, yaitu eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak, “Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme misalnya dituduh sebagai nama lain dari pesimisme , quietisme, bahkan filsafat keputusasaan yang sama sekali tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat darinya. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan kejelekan atau keburukan itu diidentikkan dengan eksistensialisme. Dari pihak komunis eksistensialisme juga dituduh sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan filsafat kaum burgeois.
Dari pihak katolik, seperti Mile. Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya menggarisbawahi hal- ihwal yang memalukan, yang rendah yang patut dicela, yang menjijikkan dlaam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona keindahan dan hal-hal yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi eksistensialisme dianggap menyangkal realitas dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan perintah Tuhan dan nilai-nilai yang dalam pandangan Kristen diskralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya, eksistensialisme itu malalui voluntary. Artinya bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut apa yang ia sukai.
Ada lagi ynag berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke terisolir-annya. Dan ini dalam pandangan kaum kominis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada subjectivitas murni seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cagito-nya- karenanya eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir tentang solidaritas.
Pertama Sartre menyayangkan bahwa istilah eksistensialisme dipakai secara teramat longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda dan radikal sehingga istilah “eksistensialisme “ nyaris tidak punya arti apa-apa lagi. Kedua, guna meluruskan salah kaprah seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendifinisikan eksistensialisme sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu, eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan setiap tindakan itu mengandung didalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia. Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human university of condition. Ketiga, definisi Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskan sebagai berikut “ bahwa eksistensi itu (hadir) mendahului esensi dan karenanya kita harus mulai dari yang subjective.
Secara sederhana Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan maksud dari “ Bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi” ia mengajak pembaca untuk membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife). Seorang pembuat pisau kertas disebut artisan, tentu mempunyai konsep terlebih dahulu dibenaknya apa yang mau ia buat, kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu keseluruhand ari rumusan pembuatan (formulae) serta kulaitas-kualitas tertentu yang membuat terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Disini kita memandang dunia dari sudut pandang teknis. Namun hal itu berbeda tatkala kit amembeyangkan Allah sebagai sang pencipta yang berarti mengatribusikan kepada-Nya kualitas ”seseorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan, ia tahu persis apa yang sedang ia ciptakan. Dengan begitu, tiap individu manusia adalah realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu manusia memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, dimana masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi tentang manusia entah itu animal rationale (Aristoteles) atau wild man of the woods (Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes) dan the bourgeois (Karl Marx).
Justru pandangan dimana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini ynag keliru dan dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya ada sebelum ia dibatasi oleh macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.
Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi” adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis, (ada,hadir) menjumpai dirinya muncul didunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu,yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).
Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia taklain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subjektif? Lalu dimana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Subjektifitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksisitensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada katakanlah batu atau meja. Subjektifitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis, bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggung jawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan menyadari bahwa control berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggung jawab di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggung jawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggung jawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?
Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subjektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiannya (human subjectivity).pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan.mencipta ini juga berarti memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas dihadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang kit anggap lebih baik dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggung jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihanyang kita buat itu, menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan.
PENUTUP
Gagasan Sartre berhubungan satu sama lainnya. Sehingga akan lebih baik jika tidak hanya membaca bukunya secara terpisah. Dia juga penulis yang produktif dan berkualitas baik dalam fiksi maupun non fiksi. Nobel sastra sempat diberikan padanya tapi ditolak dengan alasan ideologis. Pertama dengan menerima nobel dia akan menjadi Borjuis. Kedua, pembaca akan terlalu tersugesti sebelum membaca karyanya. Seperti halnya para rasionalis prancis, gagasan-gagasan tersusun dalam karyanya secara rapi. Beberapa karyanya dalam bentuk novel Nausea. Novel ini yang paling padat dalam mencerminkan gagasan filsafat Sartre. Irish Murdock dalam Sartre Romantic Rationalist menyebut bahwa Nausea adalah novel pertama Sartre yang berisi semua minat utamanya kecuali minat politis. Selain itu novel triloginya berjudul the rood to freedom terdiri dari The Age of Reason, The Reprieve dan Iron in the Soul. Selain itu dramanya No Exit dan The Flies. Selain itu kumpulan cerpennya yang berjudul Wall melejitkan namanya didunia sastra. Esai filsafatnya yang paling padat dan fenomenal adalah Existentialism is Humanism. Being and Nothingness adalah bukuu yang ditulisnya dalam penjara (1940-1941) dimana dia mengkonsep eksistensialismenya secara terperinci. Selain itu, dia juga mengkritik cara berpikir dialektis dalam Critique of Dialectical Reason. Dalam bidang psikologi bukunya yang banyak dibaca adalah The Transcendence of the Ego.
Dia meninggalkan eksistensialisme saat eksistensialisme sedang banyak digemari dan kepopulerannya sedang memuncak. Ia berpindah ke Marxis. Tahun 1977 dia menyatakan dia bukan seorang Marxist lagi sebelum meninggal pada 15 april 1980. Dia memiliki kebiasaan buruk selama hidupnya yaitusuka minum wiski, menghabiskan dua bungkus rokok sehari dan menggunakan obat-obatan terlarang untuk membantu berpikir. Penghormatan diberikan padanya saat dia meninggal dengan banyaknya orang yang mengantarnya ke pemakaman hingga jalanan kota paris penuh sesak. Demikianlah makalah pemikiran tokoh filsafat modern yang dapat penulis sajikan, semoga kita dapat mengambil pelajaran dari pemikiran tokoh filsafat pada era modern khususnya pemikiran-pemikiran dari Sartre.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim, Adang,M.A Drs dan Drs Beni Ahmad Saebani, M.Si, 2008. FILSAFAT UMUM DARI MITOLOGI SAMPAI TEOFILOSOFI. Bandung:Pustaka Setia.
Wellem Drs.F.D., M.Th, 1999. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta :BPK Gunung Mulia.
Ahmad Tafsir,2000. Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.