- Back to Home »
- Filsafat Post Modern »
- Mohammed Arkoun
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
27 May 2014
Mohammed Arkoun
Biografi Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 1928 dalam keluarga biasa di perkampungan Berber yang berada di sebuah desa di kaki-gunung Taorirt-Mimoun,
Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair. Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, Arkoun melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjutkan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai agrege bahasa dan kesusastraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959).
Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, sesaat ketika ia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad 10 M, yang menekuni ilmu kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.
Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Dikemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir, dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis. Pada tahun 1970 – 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne, yang sekarang sudah pensiun namun tetap membimbing karya penelitian di sana. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya. Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta tentu saja, membuka peluang terhadap kritik.
Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia Universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III). Sosok Arkoun yang demikian ini, dapat dinilai sebagai cendekiawan yang engage, melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab baginya pemikiran dan aksi harus saling berkaitan.
PANDANGAN DAN PEMIKIRAN
Dalam karirnya Arkoun membawa panji tentang perikemanusiaan dan pandangan modern islam. Ia mempertimbangkan bagaimana atau memikirkan kembali dunia Islam zaman ini. Arkoun melihat adanya kebekuan penafsiran disebabkan penagruh sistem dan konveksi yang membangunnya. Arkoun berupaya mengembangkan perluasan interpretasi atau penafsiran sambil tetap berpegang pada determinasi transendental untuk hal-hal yang khusus. Demikian pula pada hubungan Islam Barat atau sebaliknya Barat Islam Arkoun menganjurkan dialog secara lebih terbuka dan interpretatif. Meskipun Arkoun dalam banyak tulisannya mengadopsi dekontruksi Derrida, Arkoun lebih afirmatif lewat pandangan pencerahan dekontruksi yang masih membuka ruang bagi proses iluminasi, dengan begitu Arkoun tergolong pemikir postmodern afirmatif.
Mohammed Arkoun dan Kejayaan Islam
Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri terhadap pemikiran pluralisme, seperi pada masa awal Islam hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaa, sehingga umat Islam bisa begaul dengan sipapun. Kolonialisme secara fisik fisik memang telah berakhir. Namun, pemikiran kita masih terjajah, tidak iut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 M di Irak dan Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Memasuki abad 13, umat Islam mulai meluapakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan).
Dalam Islam klasik, ketika debat didasarkan pada pendekatan keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaiamana menginterpretasikan Al-Qur’an dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci. Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam. Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama kristen secara teologis dan agama katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh gereja Katolik. Teologi protestan merupakan teologi modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci. Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan bangsa Eropa dan Islam membangun dan bekerjasama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, dimana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh belahan bumi untuk mendapaykan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan yang berdiri diatas bangsa. Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan bahasa asing, sejarah, dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. Dalam Islam, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran). Munadharah adalah jantung demokrasi, tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya.
Ada dua macam filsafat, yaitu :
1. Filsafat Perennial
Perennial berasal dari bahasa Latin perennis, yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris, berarti kekal, selama-lamanya atau abadi istilah perennial
biasanya muncul dalam wacana filsafat agama dimana agenda yang dibicarakan adalah tentang Tuhan, wujud yang absolute, sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua agama yang yang muncul dari Yang satu, pada prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama. Filsafat perennial ingin membahas fenomena pluralism agama secara kritis dan kontemplatif. Kemudian filsafat ini berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religiusitas sesorang atau kelompok melalui symbol-symbol, ritus serta pengalaman keberagaman
2. Filsafat Hermeunitika
Istilah hermeunitika pada dasarnya, secara tradisional sering disandarkan dengan Hermes, seorang tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas sebagai mediator antara Zeus dengan manusia. Sebagai mediator diartikan sebagai penyampai pesan Zeus untuk manusia. Sehingga Hermes sendiri mengalami kebingungan yaitu bagaimana bahasa langit itu dapat dipahami dengan bahasa bumi. Secara istilah hermeneutika dipahami sebagai suatu seni dari ilmu menafsirkan khususnya tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sebanding dengan tafsir.
Kritis Islamologi Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun adalah penerus dari usaha Arthur Jeffery dalam mendekontruksi Al-Qur’an. Arkoun dalam melakukan serangan terhadap otensitas Al-Qur’an mengguanakan dua konsep yaitu konsep dekonstruksi dan konsep historias.
Konsep Dekonstruksi
Mohammed Arkoun mengklaim bahwa strategi dekonstruksi yang ia tawarkan sebagai sebuah strategi terbaik, karena strategi ini akan membongkar dan menggerogoti sumber-sumber Muslim tradisional yang mensucikan “kitab suci”. Strategi ini berawal dari pendapatnya bahwa sejarah Al-Qur’an sehingga bisa menjadi kitab suci dan otentik perlu dilacak kembali. Arkoun menyadari bahwa pendekatannya ini akan menantang segala bentuk penafsiran ulama terdahulu, namun ia justru percaya bahwa pendekatan tersebut akan memberikan akibat yang baik terhadap Al-Qur’an. Berdasarkan pendekatan tersebut, Arkoun membagi Al-Qur’an menjadi dua peringkat, yaitu peringkat pertama, disebut sebagai Ummul Kitab, dan peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible dan Al-Qur’an. Pada peringkat pertama, wahyu bersifat abadi, namun kebenarannya diluar jangkauan manusia, karena wahyu ini tersimpan dalam Lauh Al-Mahfudz dan berada disisi Tuhan, dan yang bisa diketahui manusia hanya pada peringkat kedua yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai “Al-Qur’an edisi dunia”, namun menurutnya Al-Qur’an pada peringkat ini telah mengalami modifikasi dan revisi serta substitusi.
Konsep Historitas
Konsep historitas, Arkoun mengatakan bahwa pendekatan historitas, sekalipun berasal dari Barat, namun tidak hanya sesuai untuk warisan budaya barat saja. Pendekatan tersebut dapat diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis. Strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia ialah dengan melepaskan pengaruh ideologis. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Mohammed Akoun adalah orang yang secara tuntas mencoba menggunakan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun meminjam teori hermeunitika dari Paul Ricour, dengan meperkenalkan tiga level tingkatan wahyu :
- Pertama ,wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu Al-Lauh Mahfudz dan Umm Al-Kitab.
- Kedua, wahyu yabg nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun.
- Ketiga, wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada Mushaf Al-usmani yang dipakai orang –orang Islam hingga hari ini.
Mohammmed Arkoun membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurut Arkoun, dalam periode dikursus kenabian, Al-Qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Sebabnya Al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan. Dua konsep pemikiran Mohammed Arkoun yang liberal di atas yaitu dekonstruksi dan historitas telah membuat paradigma baru tentang hakikat teks Al-Qur’an. Pendekatan historitas Mohammed Arkoun justru menggriringnya untuk menyimpulkan sesuatu yang historis, yaitu kebenaran wahyu hanya ada pada level diluar jangkauan manusia. Mohammed Arkoun mengakui kebenaran Umm Al-Kitab, hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan Al-Qur’an, tetapi bentuk tersebut sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali.
PENUTUP
Filsafat Hermeneutika, merupakan salah satu aliran dalam Post-modern, yang menghidupkan kembali (awal baru) terhadap klaim berakhirnya filsafat. Melalui bahasa secara implisit-eksplisit, interlinguistic-ekstralinguistic yang menunjuk pada kondisi dasar antropologi manusia yang bersifat tensive terhadap filsafat, rasionalitas dan kebenaran melaui metaforis, retorika dan imajinasi.
Dengan analogi ulat dan kupu-kupu. Kupu-kupu memang berasal dari ulat namun kupu-kupu bisa terbang sementara ulat tidak. Filsafat betapapun juga memiliki kemampuan untuk menjelaskan kenyataan lebih daripada metafor. Tetapi metafor dengan imaji-imaji bebasnya dapat menjadi sumber inspirasi tak habis untuk berpikir lebih jauh lagi. Kenyataan bahwa bahkan dalam bahasanya pun filsafat nyatanya sulit melepaskan diri dari metafor, hanyalah menunjukkan bahwa dalam kenyataannya pencarian kejernihan konsep memang senantiasa bersitegang dengan upaya untuk memelihara dinamika makna. Bahasa memang bersifat tensive dalam tegangan antara pembatasan perspektif dan keterbukaan, antara penggambaran dan penjelasan, antara ketepatan logis dan resonansi efektif psikologis.
Filsafat dengan bahasanya yang tensive itu lalu memang jadi sulit untuk diverifikasi maupun ditumbangkan secara tegas. Status ilmiahnya mau tak mau adalah hipotesis saja yang juga berguna untuk memperluas dan mengorganisasikan pemahaman kita tentang manusia, dunia dan kehidupan itu sendiri.