- Back to Home »
- Postmodernisme
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
22 Jun 2014
POSTMODERNISME
Dunia saat ini sedang bergejolak, khususnya dalam bidang filsafat,
ilmu, seni dan kebudayaan. Manusia merasa tidak puas dan tidak dapat
bertahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernisme dianggap sudah usang
dan harus diganti dengan paradigma baru yaitu posmodernisme.
Posmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide
zaman modern (yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan).
Posmodern memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan
sosial, kesadaran akan peristiwa sejarah dan perkembangan dalam bidang
penyiaran. Posmodern mengkritik modernisme yang dianggap telah
menyebabkan desentralisasi di bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal
ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu, posmodern
menganggap media yang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang sama
dan saling meniru satu sama lain.
Wacana posmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan bukunya The Postmodern Condition : A Report on Knowledge (1979).
Posmodern pada awal kelahirannya merupakan kritik terhadap arus
modernism yang semakin menggusur humanisme dari manusia sendiri,
melahirkan materialism dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan
menguras semangat serta nilai masyarakat. Posmodernisme beraksi terhadap
inti filsafat modernism; Idealisme Descartes, Empirisisme Locke, dan
Eksistensialisme Husserl, analisis logis Newton dan metode ilmiah
Prancis Bacon.
Francois Lyotard mengatakan bahwa posmodernisme merupakan
intensifikasi yang dinamis, yang merupakan upaya terus menerus untuk
mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan, yang menentang
dan tidak percaya pada segala bentuk narasi besar, berupa penolakannya
terhadap filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk
pemikiran totalitas, seperti Hegelian, Liberalisme, Marxisme, dan
lain-lain. Posmodern dalam bidang filsafat dapat diartikan segala bentuk
refleksi kritis atas paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
Posmodernis awal, Nietzsche, mengkritik Modernism (sains) sebagai
kecurangan yang mengklaim kebenaran yang tetap, netral dan objektif
padahal sesuatu itu adalah mustahil. Bagi Nietzsche, penjelasan ilmiah
bukan penjelasan yang sebenarnya; itu hanya menghasilakan deskripsi yang
rumit. Sedangkan Foucault curiga bahwa sains bukan disiplin netral
seperti diklaim kaum Modernis, ada banyak teori bersaing dan
berkompetisi disana. Sedangkan Baudrillard curiga terhadap peran media
massa sebagai wujud dari modernisasi yang telah banyak melakukan
kebohongan. “Apakah kita benar-benar melihat apa yang terjadi? Siapa
mengatakan hal itu? Begitu kecurigaan Baudrillard. Bahkan ia curiga
bahwa perang teluk hanyalah drama layar kaca, tidak benar-benar terjadi.
” Peperangan modern adalah peperangan cyber,”. Menurut kaum posmodernis
Ia adalah sebuah rekayasa penuh kepentingan dari agenda kapitalisme.
Baudrillard melihat kapitalisme sebagai ssuatu yang mengubah manusia
menjadi benda.
Menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, posmodernisme menganggap
modernisme telah gagal dalam beberapa hal penting antara lain:
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan dramatis sebagaimana diinginkan para pedukung fanatiknya.
Kedua, ilmu
pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan
dan penyalahgunaan otoritas seperti tampak pada preferensi-preferensi
yang seringkali mendahului hasil penelitian.
Lima paradoks yang digarisbawahi Ahmed antara lain ialah (Akbar S.
Ahmed; 2002) : masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme,
tetapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat;
masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang
belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan
Negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama,
tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan
agama.
Ketiga, ada semacam kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern.
Keempat, ada
semacam keyakinan – yang sesungguhnya tidak berdasar– bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi
manusia dan lingkungannya; dan ternyata keyakinan ini keliru manakala
kita menyaksikan bahwa kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan
terus terjadi menyertai perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.
DanKelima,
ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan
metafisik eksistensi manusia karena terlalu menekankan pada atribut
fisik individu.
Posmodernisme muncul untuk “meluruskan” kembali interpretasi sejarah
yang dianggap otoriter. Untuk itu postmodernisme menghimbau agar kita
semua berusaha keras untuk mengakui adanya identitas lain yang berada di
luar wacana hegemoni. Posmodernisme mencoba mengingatkan kita untuk
tidak terjerumus pada kesalahan fatal dengan menawarkan pemahaman
perkembangan kapitalisme dalam kerangka genealogi (pengakuan bahwa
proses sejarah tidak pernah melalui jalur tunggal, tetapi mempunyai
banyak “sentral”).
Postmodernisme mengajak kaum kapitalis untuk tidak hanya memikirkan
hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas dan keuntungan
saja, tetapi juga melihat pada hal-hal yang berada pada alur vulgar
material yang selama ini dianggap sebagai penyakit dan obyek pelecehan
saja.
Postmodernisme sebagai suatu gerakan budaya sesungguhnya merupakan
sebuah oto-kritik dalam filsafat Barat yang mengajak kita untuk
melakukan perombakan filosofis secara total untuk tidak lagi melihat
hubungan antar paradigma maupun antar wacana sebagai suatu “dialektika”
seperti yang diajarkan Hegel. Postmodernisme menyangkal bahwa kemunculan
suatu wacana baru pasti meniadakan wacana sebelumnya. Sebaliknya
gerakan baru ini mengajak kita untuk melihat hubungan antar wacana
sebagai hubungan “dialogis” yang saling memperkuat satu sama lain.
Berkaitan dengan kapitalisme dunia misalnya, Postmodenisme menyatakan
bahwa krisis yang terjadi saat ini adalah akibat keteledoran ekonomi
modern dalam beberapa hal, yaitu :
1) kapitalisme modern terlalu tergantung pada otoritas pada teoretisi
sosialekonomi seperti Adam Smith, J.S.Mill, Max Weber, Keynes,
Samuelson, dan lain-lain yang menciptakan postulasi teoritis untuk
secara sewenangwenang merancang skenario bagi berlangsungnya prinsip
kapitalisme;
2) modernisme memahami perkembangan sejarah secara keliru ketika
menganggap sejarah sebagai suatu gerakan linear menuju suatu titik yang
sudah pasti. Postmodenisme muncul dengan gagasan bahwa sejarah merupakan
suatu genealogi, yakni proses yang polivalen, dan
3) erat kaitannya dengan kekeliruan dalam menginterpretasi
perkembangan sejarah, ekonomi modern cenderung untuk hanya
memperhitungkan aspek-aspek noble material dan mengesampingkan vulgar
material sehingga berbagai upaya penyelesaian krisis seringkali justru
berubah menjadi pelecehan. Inkonsistensi yang terjadi adalah akibat
rendahnya empati para pembuat keputusan terhadap persoalan-persoalan
yang mereka hadapi.
Postmodernisme bukanlah suatu gerakan homogen atau suatu kebulatan
yang utuh. Sebaliknya, gerakan ini dipengaruhi oleh berbagai aliran
pemikiran yang meliputi Mrxisme Barat, struktualisme Prancis, nihilisme,
etnometodogi, romantisisme, popularisme, dan hermeneutika.
Heterogenitas inilah yang barangkali menyebabkan sulitnya pemahaman
orang awam terhadap postmodernisme. Dalam wujudnya yang bukan merupakan
suatu kebulatan, postmodernisme tidak dapat dianggap sebagai suatu
paradigma alternatif yang berpretensi untuk menawarkan solusi bagi
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme, melainkan lebih
merupakan sebuah kritik permanen yang selalu mengingatkan kita untuk
lebih mengenali esensi segala sesuatu dan mengurangi kecenderungan untuk
secara sewenang-wenang membuat suatu standar interpretasi yang belum
tentu benar.
CIRI-CIRI POSMODERNISME
Akbar S. Ahmed mengatakan terdapat delapan karakter sosiologis posmodernisme yang menonjol, yaitu :
Satu,
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas;
memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden
(meta-narasi); dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme
kebenaran.
Dua,
meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari
sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan
dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah
menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku
orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa
disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
Tiga,
munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga
sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap
kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi
janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi
adalah penindasan.
Empat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
Lima,
semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan,
dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku
bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat
negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran
pinggir”.
Enam,
semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
posmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Tujuh, era
posmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan
secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
Delapan,
bahasa yang digunakan dalam waacana posmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
posmodernisme” banyak mengandung paradoks
DAFTAR PUSTAKA
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum. Pustaka Setia, Bandung.
Akbar S. Ahmed. Posmodernisme and Islam. 1992
Bambang Sugiharto. Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta. Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. 1980.
Bambang Sugiharto. Postmodernisme:Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta,Kanisius, 1996.
Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta. Yogyakarta, Kanisius, 2005.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta, Penerbit Kanisius. 1980.