.


Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah 27 May 2014

Anselmus 

Biografi Anselmus
Anselmus lahir dari pasangan bangsawan Comberdia di Aosta Piemont, Italia sekitar tahun 1033. Ayahnya bernama Gundulph dan ibunya bernama Ermenberga. Ayahnya adalah seorang politikus dan bangsawan Lombardia, sedangkan ibunya adalah seorang Bugundia

yang kaya raya. Anselmus mendapatkan pendidikan rohani untuk pertama kali dari ibunya. Ia menolak keinginan ayahnya untuk menjadi seorang politikus, dan lebih memilih menjadi pengembara menyeberangi pegunungan Alpens dan mengelilingi Eropa. Sebagai anak yang besar di daerah pegunungan, ia mempercayai cerita-cerita yang mengisahkan berbagai hal tentang Allah yang menguasai segala sesuatu yang berada di puncak gunung yang sangat tinggi. Pada usia 26 tahun ia masuk biara Benediktin di Bec, Normandia, Perancis dan menjadi pelajar pertama yang menjadi seorang biarawan di tahun 1079. Sebelum menjadi uskup agung di Canterbury pada tahun 1093, Anselmus dipilih menjadi abbas pada usia 45 tahun. Dalam kepemimpinannya sebagai Uskup Canterbury, Anselmus tidak selamanya berjalan mulus. Anselmus Sering kali mengalami selisih pendapat dengan raja-raja Inggris. Faktor utama terjadinya perselisihan ialah mengenai kebebasan Gereja-gereja Inggris dari kekuasaan raja, serta peranan Paus di Inggris. Akibatnya, Anselmus harus hidup dalam pembuangan di eropa daratan. Sejak saat itu kehidupan Anselmus terus diwarnai oleh
pertentangan dengan raja William II dan Henri I mengenai hak Gereja dan negara. Anselmus menghendaki supaya uskup-uskup dipilih dengan bebas tanpa campur tangan negara. Namun, William II mengancam dan akan memecat uskup agung itu, sehingga Anselmus melarikan diri ke Roma selama tiga tahun. Anselmus kembali ke Inggris ketika Henry I naik tahta. Tapi segera disusul oleh perselisihan lagi Henry I menuntut hak atas pengangkatan uskup dan abbas. Anselmus mengungsi ke Roma untuk yang kedua kalinya. Anselmus Canterbury, karena kepandaian dan kegemilangannya, berhasil menulis beberapa karya penting dalam bidang teologi. Inti ajarannya ialah hubungan antara rasio dan iman, yang dikenal dengan itilah “Credo Ut Intelligam”. Ia meninggal dunia pada tahun 1109 dan dikanonisasi pada tahun 1949. Pada tahun 1720 ia mendapat gelar sebagai “Pujangga Gereja”.

PEMIKIRAN
Pandangan-pandangan teologi Anselmus mempunyai pengaruh yang besar dalam teologi gereja pada Abad Pertengahan. Gagasan yang dikembangkan Anselmus merupakan pemikiran dialektika yang bisa membuat orang menjadi yakin dan percaya. Anselmus merumuskan hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan dengan rumusan “Fides quarens intellectum” atau iman berusaha untuk mengerti. Menurutnya, iman merupakan dasar memahami segala sesuatu di atas akal / rasio. Dengan semboyan “Credo ut intelligam” (saya percaya supaya saya mengerti), Anselmus bermaksud, melalui kepercayaan Kristiani orang dapat mencapai pengertian lebih mendalam tentang Allah, manusia, dan dunia. Ungkapan tersebut juga menggambarkan bahwa Anselmus mendahulukan iman daripada akal. Iapun mengatakan wahyu harus diterima dulu sebelum kita mulai berfikir. Anselmus memberikan suatu arah baru bagi pemikiran filsafat terutama bagi pandangan agama kristen. Orang yang percaya akan agama memiliki pengertian tentang Tuhan, manusia, dan dunia secara mendalam. Agama menolong manusia untuk sampai kepada kebenaran itu. Anselmus mempertahankan kemampuan budi sebagai jalan untuk mencapai kebenaran. Anselmus yakin akan adanya akal, sehingga ia memohonkan rahmat illahi untuk menemukan titik terang yang meyakinkan akal (ratio) yakni percaya dengan hati (fides). Iman tidak terikat oleh apapun, bahkan akal sekalipun. Akan tetapi, iman dan akal tidak dapat dipisahkan. Hal ini dibuktikan oleh Anselmus bahwa walaupun orang mendapatkan kepastian melalui iman namun berkat dorongan iman akal tergerak untuk menyelami secara mendalam mengenai kebenaran yang di-imani-nya. Berdasarkan imanlah orang sampai kepada suatu kebenaran yang tak tergoyahkan, sebab kepastian iman diperoleh melalui wahyu. Iman dan akal berasal dari Allah. Iman sampai kepada manusia dengan perantaraan wahyu, sedangkan pengetahuan akal adalah penerangan dari yang ilahi. Pada masa hidupnya Anselmus berusaha membuktikan adanya Allah dalam dua karya terbesarnya yaitu Monologian dan Proslogion melalui dua cara yang berbeda. Diantara kedua buku karyanya tersebut, yang lebih menjadi sorotan dan perdebatan di antara filsuf dan teolog ialah Proslogion. Karya tersebut memuat argumen-argumen ontologinya mengenai keberadaan Allah. Beberapa tokoh pemikir yang cukup tertarik dan mempermasalahkan karya itu diantaranya: Bonaventura, Thomas Aquinas, hingga beberapa filsuf analisis bahasa abad XX. Dan dalam membuktikan adanya Tuhan, Anselmus mengatakan bahwa ia tidak perlu tahu tentang Tuhan, ia telah beriman kepada Tuhan (I believe, that unless I believe, I should not understand).
1. Proslogion
Buku Anselmus dengan judul Proslogion (atau Percakapan) memuat pembuktian ontologis mengenai adanya Allah. Ia berusaha membuktikan adanya Allah dengan menyajikan argumen dalam bentuk silogisme. Anselmus mempercayai bahwa akal budi mampu membawa manusia pada kebenaran iman yang sejati. Melalui buku Proslogion, Anselmus mau membuktikan bahwa iman Kristiani dapat dijelaskan menggunakan akal dan secara rasional. Buku Proslogion diawali dengan doa sebagai pengantar: “Ajari aku untuk menemukan-Mu, dan tunjukkanlah diri-Mu kepada mereka yang berusaha mencari-Mu, sebab aku tidak akan bisa menemukan-Mu jika bukan karena Engkau sendirilah yang mengajari aku bagaimana caranya. Dan aku tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, melainkan aku percaya agar bisa memahami”.
Argumen ini disajikan dalam bentuk silogisme sebagai berikut:
¤ Nama “Allah” adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan.
¤ Hal yang terbesar bukan hanya berada dalam pemikiran, tetapi juga berada dalam
kenyataan.
Kesimpulannya : Allah tidak hanya dalam pemikiran tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah
sungguh-sungguh ada.
Menurut Anselmus ada dua cara yang dapat membuktikan adanya Allah:
1. Ketika Anselmus melihat adanya hal-hal yang terbatas, serentak ia juga mengandaikan adanya hal-hal yang tidak terbatas. Dengan begitu ia hendak mengatakan bahwa, akal manusia hanya mampu untuk sampai kepada pemahaman yang biasa-biasa saja, tidak sepenuhnya mendalam dan sungguh-sungguh mendasar. Ada banyak hal yang tidak mampu kita jelaskan begitu saja dengan pengetahuan yang kita miliki, karena itu ia mendasarkan adanya hal-hal yang tidak terbatas.
2. Untuk membuktikan adanya Allah ialah penguraian. Menurut Anselmus, apa yang kita sebut Allah memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala sesuatu yang bisa kita pikirkan. Cara kedua yang dipaparkan oleh Anselmus ini tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk semua tingkat pemikiran. Teori ini ingin mengutarakan bahwa Allah yang dipahami berbeda dengan pengertian-pengertian ataupun pemahaman yang lain. Tidak dipahami seperti suatu pemahaman yang semu, seperti pulau yang terindah yang dipikirkan orang atau dikhayalkan, belum tentu benar-benar ada dalam kenyataan. Hanya pengertian tentang Allah sebagai tokoh yang jauh lebih besar daripada segala sesuatu itulah yang menurut adanya realitas yang sesuai dengan pengertian itu.
Secara singkat sebagai berikut:
1. Kita semua satu bahwa dengan nama “Allah” dimaksudkan hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi (“id quo nihil maius cogitari potest”). Dengan perkataan lain, dengan nama “Allah” kita maksudkan hal yang lebih besar dari hal lain yang dapat dipikirkan. 
2. Tidak mungkin hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi, hanya berada dalam pemikiran saja, karena hal yang ada dalam pemikiran saja bukanlah hal yang terbesar, sebab lebih besar lagi ialah berada dalam kenyataan.
2. Monologian
Dalam buku Monologion ini, Anselmus tidak hanya menawarkan suatu argumen tentang eksistensi Allah, melainkan juga berbagai atribut yang dikenakan kepada Allah. Jika dalam argumen Monologion Anselmus hanya membuktikan keberadaan Allah, dan mengabaikan sifat-sifat ilahi, maka argumen dalam buku Monologion yang berbicara tentang eksistensiAllah tersebut, dianggap kurang orisinil. Tetapi, pada kenyataannya, tidak ada yang lebih besar dari apa yang dapat kita pikirkan, yang ternyata memberikan hasil yang sangat mengagumkan. Tuhan harus menjadi Yang Mahakuasa, sebab kalau tidak demikian berarti ada seseorang yang lebih besar daripada-Nya. Akan tetapi tidak ada yang lebih besar dari apa yang kita pikirkan, maka Allah adalah Mahakuasa. Ia maha adil, maha kasih, dan maha baik.
Dalam bukunya ini Anselmus memberikan bukti-bukti tentang adanya Allah melalui tiga
cara, sebagai berikut :
1. Yang baik secara relatif mengandaikan adanya yang baik secara mutlak. Yang baik secara
mutlak itu disebut Allah.
2. Fakta bahwa semua hal berada dalam hal yang sama dan karena itu harus ada Sesuatu
penyebab mula dan segala yang ada ini. Penyebab itu disebut Allah.
3. Fakta adanya berbagai tingkat kesempurnaan. Hal itu mengandaikan adanya kesempurnaan
yang mutlak yang disebut Allah.
Selain kedua buku tersebut, Anselmus juga memiliki karya terkenal lainnya yaitu “Cur Deus Homo” (Mengapa Allah Menjadi Manusia?). Dalam karyanya ini, Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjadi manusia demi menyelamatkan dosa-dosa kita. Dalam Cur Deus Homo, Anselmus dituduh merendahkan martabat Allah sebagai manusia. Anselmus mengatakan bahwa Allah harus menjadi manusia dan mati demi dosa-dosa kita. Seandainya Allah menjadi manusia, maka manusia yang merupakan gambaran Allah, akan binasa oleh dosa itu sendiri. Karena Allah Maha Pengasih, maka Ia sendiri harus menjadi manusia demi memulihkan kehormatan-Nya yang telah rusak. Meskipun manusia telah berbuat dosa tetapi Allah menebusnya, sebab Allah Maha Pengasih dan hanya Dia yang akan menebusnya. Allah menjadi manusia melalui Yesus Kristus putera-Nya yang tunggal, yang wafat disalib demi menebus dosa manusia. Dalam Cur Deus Homo, Anselmus mau menunjukkan bahwa penjelmaan dan salib merupakan hal yang pantas dan masuk akal. Tuduhan bahwa tidak
pantas Allah menjadi manusia, telah dijawab oleh Anselmus, sehingga orang yang belum percaya diarahkan kepada kebenaran. Pemikiran yang dikembangkan oleh Anselmus kurang lebih sama dengan pemikiran Agustinus dan Johanes Scotus Eriugena. Anselmus percaya bahwa iman adalah langkah awal untuk mengerti, dan bukan sebaliknya. Anselmus mengemukakan bahwa kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, karena akal manusia tidak mampu untuk
menyatakan suatu kebenaran itu. Wahyu yang diturunkan merupakan suatu kebenaran yang mutlak. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa iman bersifat bebas dan tidak terikat, serta tidak memerlukan dasar-dasar akali. Namun demikian setiap orang tetap memiliki kepastian karena iman, maka dengan sendirinya iman akan mendorong akal untuk menyelami kebenarankebenaran iman lebih lanjut.

PENUTUP
Anselmus membuktikan bahwa Allah benar-benar ada. Allah dirumuskan sebagai yang terbesar yang dapat dibayangkan. Allah berada bukan hanya dalam khayalan tetapi juga dalam kenyataan. Dalam pemikiran dan ajarannya, Anselmus memberikan suatu jawaban yang masuk akal bahwa untuk mencapai suatu gambaran yang mendalam tentang Allah, pertamatama, kita harus memiliki iman atau percaya terlebih dahulu. Ia menegaskan bahwa budi harus dipergunakan dalam keagamaan. Hal ini bukan berarti bahwa budi adalah segala-galanya, tetapi melalui agama atau kepercayaan, orang dapat sampai kepada suatu pengertian yang jelas. Melalui agama atau kepercayaan, manusia dituntun untuk lebih mengerti tentang Tuhan, manusia, dan dunia. Menurut Anselmus iman adalah langkah awal untuk mengerti Allah, dan bukan sebaliknya. Untuk itu orang yang mencari kebenaran akan Allah harus bertitik tolak pada iman. Menurutnya, iman yang mendalam, disertai dengan pengetahuan akali, akan memberi suatu pandangan yang lebih mendalam atas segala sesuatu, baik tentang Allah,
manusia maupun dunia. Dengan demikian, suatu kebenaran yang terkandung di dalam Kitab Suci, mampu dijelaskan secara rasional serta mendalam. Argumentasi ontologisnya (informasi yang dapat mengarah ke penemuan sesuatu yang penting) menghantarkan suatu pemahaman kepada suatu kepercayaan dan keyakinan akan Allah. 

Daftar Pustaka
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyajarta: Kanisius, 1998.
Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat Barat Jilid 1. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Tafsi, Ahmad. Filsafat Umum Akal dan Hati dari Thales sampai Capra. Bandung:PT Remaja
Rosdakarya, 2009.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Ensiklopedia Tasawuf Filsafat dan Informatika FFSS - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Fitrah Ali Yusuf -