- Back to Home »
- Filsafat Islam »
- Ibnu Khaldun
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
7 Jun 2014
Ibnu Khaldun
Biografi Ibnu Khaldun
Biografi Ibnu Khaldun
Abu
Zayd ‘Abd al-Rahman b. Muhammad b. Khladun al-Hadlrami dilahirkan di kota Tunisia-Afrika Utara pada 1 Ramadhan 732 H/27
Mai 1332 M dan mengadakan perlawatan ke Negeri Andalusia. Tetapi, tidak lama ia
menetap di sana, dan kembali ke Afrika Utara serta berkelana di kota-kota
lainnya di sana, tapi kemudian kebali ke Andalusia. Ia pergi ke Oran untuk
berhijrah, kemudian kembali ke Tunisia, dari mana ia kemudian pergi ke timur,
dan menetap di Kairo. Di sini ia diangkat sebagai hakim Agung (Qadli Qudlat)
kerajaan. Dan meninggal di Kairo pada tahun 808/1406 M.
Beliau hidup pada abad ke-14 Masihi yaitu ketika umat Islam mengalami zaman
kemunduran dan perpecahan sedangkan Eropa mengalami kebangkitan zaman
Renaissans. Ibnu Khaldun mengungguli ilmuan-ilmuan pada zamannya dalam kitab al-Ibar
wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar terutama dalam pendahuluannya (al-Muqaddimah),
yang dipandang sebagai dasar atau fondasi bagi ilmu sosial (sosiologi) di mana
perbedaan watak manusia dikaitkan erat dengan perbedaan lingkugannya.[4] Seperti terkait
dengan kemunduran yang dimaksudkan di atas ialah berlakunya perpecahan
dikalangan umat Islam dengan mazhab dan juga perpecahan dikalangan kaum Barbar,
setengahnya mendukung pemerintahan al-Murabitin dan ada juga yang
mendukung kerajaan al-Muwahhidun.
Akibatnya,
umat Islam telah mengalami kemunduran dalam bidang intelektual yang mana
kebanyakan karya-karya yang muncul ketika itu hanya berbentuk syarah
terhadap karya-karya di zaman keagungan Islam yaitu sekadar memberi uraian dan
penjelasan yang lebih mendalam terhadap sesebuah karya terdahulu. Berbeda
dengan karya Ibn Khaldun yang telah menghasilkan sebuah ide baru khususnya
dalam bidang pensejarahan. Beliau telah mempelajari bidang keagamaan ketika
zaman mudanya yang secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran beliau dan
penulisan karya-karya beliau. Hal ini terbukti Ibnu Khaldun telah meletakkan
pengecualian terhadap mukjizat para nabi dalam konsep sebab-akibat di dalam
filsafat dan metode sejarahnya. Berkaitan dengan permasalahan, seperti
perubahan zaman ataupun penetuan suatu hukum kehidupan. Sekitar lebih dari dua
ribu tahun lampau, Socrates pertama kali menyinggung hukum “sebab-akibat”. Pada
saat ini para psikolog menyebutnya dengan hukum “kausalitas”. Hukum ini
mengajarkan bahwa setiap sebab akan berdampak pada akibat tertentu yang akan
ditimbulkannya.[5]
Pegangan inilah yang membedakan di antara seorang ilmuwan Islam dengan ilmuwan
barat. Walaupun seseorang bebas untuk menggunakan akal fikiran dalam mengkaji
alam, namun agama menjadi pembimbing dalam menentukan semua gerak kehidupan.
Berbeda dengan konsep keilmuan dalam dunia barat yang menganggap agama sebagai
pengungkung manusia mencapai kemajuan.
b.
Karya-karya Ibnu
Khaldun
Ibnu
Khaldun telah menulis karya bersejarah seperti al-Muqaddimah yang merupakan
pendahuluan karya besarnya al-I’bar menguraikan bahwa sejarah menjadikan
kita mengenal kondisi masa lalu suatu bangsa yang direfleksikan dalam karakter
kebangsaan. Hal ini yang menjadikan kita mengenal biografi Nabi-nabi dan
dinasti-dinasti dengan segala aturan kebijakannya. Penulisan sejarah juga
menghendaki adanya sumber-sumber yang banyak dan varian pengetahuan yang
tinggi. Ia juga mengharuskan ahli sejarah mempunyai pemikiran yang spekulatif
dan ketelitian. Dua prinsip ini yang akan mengawalnya untuk mencapai kebenaran
dan menjaganya dari kesalahan.
Kitab
Muqaddimah tersebut merupakan pendahuluan sebuah kitab atau karya yang
lebih besar berjudul Kitab al-’Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-khabar fi
Ayyam al-’Arab wa Al-’Ajam wa al-Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawi
al-Sulthan al-Akbar yang bermaksud Kitab iktibar dan himpunan tentang asal
usul dan peristiwa hari-hari bangsa Arab, Persia, Barbar dan Orang-orang yang
sezaman dengan mereka yang memiliki kekuasaan yang kuat. Karya ini telah dibagikan
kepada empat bagian yaitu Pendahuluan (al-Muqaddimah) yang membahaskan
mengenai disiplin sejarah dan filsafat sejarah yang juga dibahas mengenai
kesalahan-kesalahan para sejarawan terdahulu. Buku Pertama membincangkan hal
peradaban secara umum, Dinasti, Raja dan pemerintahan, persoalan mencari harta
pencarian dan perbincangan mengenai kepelbagaian ilmu pengetahuan. Buku Kedua,
menguraikan tentang sejarah bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang sezaman
dengannya seperti Qibti, Yunani, Romawi dan Turki. Buku Ketiga pula
menghuraikan sejarah bangsa Barbar dan Zanatah, khususnya kerajaan dan Negara-negara
di Afrika Utara (Maghribi). Selain dari kitab al-‘Ibar yang terkandung di
dalamnya kitab Muqaddimah, Ibn Khaldun juga telah menghasilkan sebuah
kitab yang memaparkan otobiografi hidupnya. Kitab ini berjudul al-Ta’rif bi
Ibn Khaldun wa Rihlatuh Garban wa Syarqan. Al-Ta’rif telah
mencatatkan riwayat hidup Ibn Khaldun sejak masa mudanya hingga ke beberapa
bulan sebelum kematiannya. Dari karya al-Muqaddimah inilah
Ibnu Khaldun merumuskan hukum sejarah. Dalam pandangannya sejarah tidak lebih
dari sekedar menguraikan tentang peristiwa-peristiwa, nama-nama penguasa atau
silsilah keturunan dan angka-angka tahun. Menurut Ibn Khaldun pengetahuan itu
tidak mewakili wawasan disiplin ilmu sejarah. Pemikiran Filsafat sejarah Ibnu
Khaldun dalam al-Muqaddimah secara luas dibahas dalam bab dua kitab al
–I’bar.
c.
Ibnu
Khaldun dan Filsafat
Menilik
sejarah perjalanan hidup Ibnu Khaldun ataupun biografinya, ada beberapa hal
dapat kita petik; keragaman ilmu yang ditekuni, apresiasi dan patronisasi,
kesungguhan dan kreatifitas. Pertama, keberagaman ilmu . Keberagaman cabang
ilmu yang diminati para tokoh terdahulu dengan beragam merupakan salah satu
bentuk sikap terbuka terhadap ilmu-ilmu apa pun jenisnya. Kedua, apresiasi
yang tinggi dari masyarakat penguasa terhadap ilmuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan telah mendorong banyak orang untuk menggali ilmu yang diminatinya
dengan penuh kesungguh-sungguha. Ketiga, kesungguhan dan kreatifitas.
Apresuasi tidak cukup untuk menunjang perkembangan ilmu pengetahuan. Faktor
eksternal ini juga ditunjang oleh faktor internal, yaitu kesungguhan dan
kreativitas ilmuan itu sendiri.[6]
Filsafat
sejarah menurut Ibnu Khaldun yaitu mengkaji fenomena-fenomena sosial secara
lebih umum, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu dan mengkajinya dari segi
tujuan yang ingin dicapai, serta hukum mutlak yang mengendalikannya sepanjang
sejarah. Dalam pandangannya masyarakat merupakan mahluk histories yang
hidup dan berkembang sesuai dengan hukum khusus, yang berkenaan dengannya.
Hukum itu dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap sejumlah
fenomena sosial. Ia berpendapat sesungguhnya ‘ashabiyyah
merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor ekonomis yang merupakan
faktor penting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari
pendapat itu, Khaldun dapat dianggap sebagai tokoh pelopor materialisme
sejarah, jauh sebelum Karl Marx. Dengan karyanya terkenal sebagai perintis dan
pelopor The Culture Cycle Theory of History, yaitu satu teori Filsafat
sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan Barat tentang
kematangannya. Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah dunia itu
adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban. Ia mengalami masa lahirnya,
masa berkembang, masa puncaknya kemudian masa menurun dan akhirnya masa
kehancuran. Khaldun mengistilahkan siklus ini dengan tiga tangga peradaban.
Konsep
gerak sejarah Ibn Khaldun mengikut pada tiga aliran Filsafat sejarah. Pertama,
aliran sejarah sosial. Aliran ini berpendapat bahwa fenomena-fenomena
sosial dapat ditafsirkan, dan teori-teorinya dapat dihuraikan dari fakta-fakta
sejarah. Kedua, aliran ekonomi. Aliran ini menafsirkan sejarah secara
materialis dan menguraikan fenomena-fenomena sosial secara ekonomis. Setiap
perubahan dalam masyarakat dan fenomena-fenomenanya merujuk pada faktor
ekonomi. Karl Marx adalah tokoh yang mengembangkan aliran Filsafat sejarah ini.
Ketiga, aliran geografis. Aliran ini memandang manusia sebagai putra
alam lingkungan, dan kondisi-kondisi alam di sekitarnya. Oleh karena itu dalam
penyejarahannya, seseorang, masyarakat dan tradisi-tradisinya dibentuk oleh
lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki dampak
terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga bisa mempengaruhi
dan berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Ibn Khaldun fenomena-fenomena
sosial tunduk pada hukum perkembangan. Demikian juga dengan gerak sejarah, ia
mengalami perkembangan, yaitu mempunyai corak dialektis.
Selanjutnya
dalam pandangan Ibn Khaldun ada tiga faktor dominan yang mempengaruhi dan
mengendalikan perkembangan perjalanan sejarah dari waktu ke waktu. Pertama,
faktor ekonomi. Menurut Ibn Khaldun kegiatan ekonomi menentukan bentuk
kehidupan. Perbedaan agama seseorang bisa lahir karena penghidupan, keadaan dan
waktu. Kegiatan ekonomi menjadi salah satu yang terpenting dalam mengendalikan
kehidupan sosial, politik, moral masyarakat dan pikiran mereka. Kedua,
faktor geografis, lingkungan dan iklim. Pengaruh geografi misalnya orang yang
menempati kawasan yang kaya hasil bumi, biasanya cenderung malas-malasan dan
pengaruhnya mereka akan malas serta lamban dalam berpikir. Sedangkan orang yang
menempati kawasan yang miskin hasil bumi, cenderung rajin dalam bekerja karena
makanannya terbatas tetapi minda mereka lebih tajam. Ketiga, faktor
agama. Ibn Khaldun meyakini adanya pengaruh dan pengarahan Tuhan terhadap
segala yang terjadi. Ia berkesimpulan bahwa hubungan antara Tuhan dan manusia
wujud pada setiap ruang dan masa. Alam dan seisinya dibagikan kepada manusia
sebagai khalifah-Nya. Sisi inilah yang membuktikan bahwa Ibnu Khaldun
merupakan seorang pemikir dan ahli Filsafat sejarah Islam. Ia mampu
menghubungkan antara ekonomi, alam dan hukum determinisme dalam sejarah.
Berkaitan
dengan hukum determinisme sejarah, Ibn Khaldun menguraikannya dalam tiga hukum.
Pertama, Hukum Sebab-Akibat (Legal Causality) yaitu hukum
determinisme yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kealaman
pada asal mulanya. Khaldun menerapkan dan menjadikan hukum ini sebagai salah
satu diantara dua prinsip Filsafatnya. Ia meyakini adanya hubungan sebab-akibat
antara realitas dengan fenomena. Ia berasumsi bahwa semua realitas di alam ini
dapat dicari hukum kausalitasnya. Kecuali mukjizat para nabi dan karomah
para Wali. Kedua, Hukum Peniruan (Legal Copying). Menurut Khaldun
peniruan itu sendiri merupakan satu hukum yang umum. Peniruan bisa menyebabkan
kesamaan sosial. Ia menguraikan bahwa kelompok yang kalah selalu meniru
kelompok yang menang dalam pakaian, tanda-tanda kebesaran, aqidah dan adat. Ketiga,
Hukum Perbedaan (Legal Differences). Hukum ini juga diasumsikan
sebagai salah satu hukum determinisme sejarah. Masyarakat menurut Ibn Khaldun
tidaklah sama secara mutlak, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan yang harus
diketahui oleh sejarawan. Lebih jauh Ibn Khaldun menghubungkan bahwa
perbedaan-perbedaan semakin membesar karena faktor geografis, fisik, ekonomi,
politik, adat istiadat, tradisi dan agama.
Sebagai
seorang muslim penulis sejarah, bahkan peletak dasar filsafat sejarah, Ibnu
Khaldun berpendapat bahwa ada tujuh penyebab kesalahan dalam penulisan sejarah.
Salah satunya yang paling penting ialah; sejarahwan tidak memahami hukum-hukum
perubahan masyarakat, padahal setiap peristiwa bahkan segala sesuatu tunduk
pada perubahan. Dalam bukunya penyebab yang ini merupakan yang paling
memberikan pelajaran dan penyebab ini pula yang merupakan esensi filsafat
sejarah. Pada dasarnya, filsafat sejarah secara pengertian sederhananya adalah
tinjauan terhadap peristiwa-peristiwa historis secara filosofis untuk
mengetahui faktor-faktor esensial yang mengendalikan perjalanan peristiwa untuk
menetapkan hukum-hukum umum.[7]
Sebenarnya,
dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat yang mengingatkan kita agar belajar dari
sebuah sejarah. Sebagaimana dalam surat Ali Imran ayat 137 yang artinya; “sungguh
telah berlalu sebelum kalian sunnah-sunnah Allah, karena itu berjalan di muka
bumi untuk memperhatikan akibat apa saja yang menimpa orang-orang yang
mendustakan Allah.” Arti ayat di atas menunjukkan bukti peganjuran bagi
kita untuk belajar dari sebuah sejarah.