- Back to Home »
- Eksistensialisme
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
17 Jun 2014
Eksistensialisme
Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin
Heidegger (1889-1976). Eksistensialisme adalah merupakan filsafat dan
akar metodologinya berasal dari metoda fenomologi yang dikembangkan oleh
Hussel (1859-1938). Munculnya eksistensialisme berawal dari ahli
filsafat Kieggard dan Nietzche. Kiergaard Filsafat Jerman (1813-1855)
filsafatnya untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang
individu)”. Hal ini terjadi karena pada saat itu terjadi krisis
eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan
jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu
yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi
dalam kehidupan. Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan filsafatnya
adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia
unggul”. Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai
keberanian untuk merealisasikan diri secara jujur dan berani
Eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus
mendeskripsikan eksistensi dan pengalaman manusia dengan metedologi
fenomenologi, atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu
reaksi terhadap materialisme dan idealisme. Pendapat materialisme bahwa
manusia adalah benda dunia, manusia itu adalah materi , manusia adalah
sesuatu yang ada tanpa menjadi Subjek. Pandangan manusia menurut
idealisme adalah manusia hanya sebagai subjek atau hanya sebagai suatu
kesadaran. Eksistensialisme berkayakinan bahwa paparan manusia harus
berpangkalkan eksistensi, sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan
lukisan-lukisan yang kongkrit.
Eksistensi oleh kaum eksistensialis disebut Eks bearti keluar,
sintesi bearti berdiri. Jadi ektensi bearti berdiri sebagai diri sendiri
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran
filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya
antara lain Kierkegaard (1813 – 1915), Nietzsche (1811 – 1900) dan Jean
Paul Sartre. Inti ajaran ini adalah respek terhadap individu yang unik
pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi. Kita lahir dan eksis
lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Setiap individu
menentukan untuk dirinya sendiri apa itu yang benar, salah, indah dan
jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki keinginan untuk
bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogyanya menekankan
refleksi yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri.
Manusia adalah pencipta esensi dirinya. Dalam kelas guru berperan
sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya
dengan membiarkan berbagai bentuk pajanan (exposure) dan jalan untuk
dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum
eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia
secara utuh, bukan hanya sebagai pembangunan nalar. Sejalan dengan
tujuan itu, kurikulum menjadi fleksibel dengan menyajikan sejumlah
pilihan untuk dipilih siswa. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang
memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk
karya sastra film, dan drama. Semua itu merupakan alat untuk
memungkinkan siswa ‘berfilsafat’ ihwal makna dari pengalaman hidup,
cinta dan kematian.
Eksistensialisme biasa dialamatkan sebagai salah satu reaksi dari
sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir punah
akibat perang dunia kedua.[1] Dengan demikian Eksistensialisme pada
hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan
keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki
dan dihadapinya.
Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme berbeda dengan filsafat
eksistensi. Paham Eksistensialisme secara radikal menghadapkan manusia
pada dirinya sendiri, sedangkan filsafat eksistensi adalah benar-benar
sebagai arti katanya, yaitu: “filsafat yang menempatkan cara wujud
manusia sebagai tema sentral.”[2]
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian eksistensialisme
adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak logis
atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutkan
rasional.[3] Dengan demikian aliran ini hendak memadukan hidup yang
dimiliki dengan pengalaman, dan situasi sejarah yang ia alami, dan tidak
mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif.
Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang
tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai
keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangannya itu, sikap di kalangan kaum Eksistensialisme
atau penganut aliran ini seringkali Nampak aneh atau lepas dari
norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to[4] adalah lebih banyak
menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang prendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morris
dalam Existentialism and Education, bahwa “Eksistensialisme tidak
menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk.”[5]
Oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini menolak bentuk-bentuk
pendidikan sebagaimana yang ada sekarang. Namun bagaimana konsep
pendidikan eksistensialisme yang diajukan oleh Morris sebagai
“Eksistensialisme’s concept of freedom in education”, menurut Bruce F.
Baker, tidak memberikan kejelasan. Barangkali Ivan Illich dengan
Deschooling Society, yang banyak mengundang reaksi di kalangan ahli
pendidikan, merupakan salah satu model pendidikan yang dikehendikan
aliran Eksistensialisme tidak banyak dibicarakan dalam filsafat
pendidikan.
Pandangan eksistensialisme adalah:
Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan ke pribadian
Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup
Menurut metafisika: (hakekat kenyataan) pribadi manusia tak sempurna, dapat diperbaiki melalui penyadaran diri dengan menerapkan prinsip & standar pengembangan ke pribadian
Epistimologi: (hakekat pengetahuan), data-internal–pribadi, acuannya kebebasan individu memilih
Logika: (hakekat penalaran), mencari pemahaman tentang kebutuhan & dorongan internal melaui analis & introfeksi diri \
Aksiologi (hakekat nilai), Standar dan prinsip yang bervariasi pada tiap individu bebas untuk dipilih-diambil
Etika (hakekat kebaikan), tuntutan moral bagi kepentingan pribadi tanpa menyakiti yang lain
Estetika (hakekat keindahan), keindahan ditentukan secara individual pada tiap orang oleh dirinya
Tujuan hidup menyempurnakan diri melalui pilihan standar secara bebas oleh tiap individu, mencari kesempurnaan hidup