- Back to Home »
- Filsafat Post Modern »
- Michel Foucault
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
27 May 2014
Michel Foucault
Biografi Michel Foucault
Michel Foucault lahir Paul-Michel Foucault (15 Oktober 1926 - 25 Juni 1984), adalah seorang Perancisfilsuf , sosiolog , dan sejarawan . Ia memegang kursi di bergengsi College de France dengan judul "Sejarah Sistem Pemikiran," dan juga mengajar di Universitas di Buffalo dan University of California, Berkeley .
Foucault yang paling dikenal karena studi kritis sosial institusi , terutama psikiatri , kedokteran , dengan ilmu manusia , dan sistem penjara, serta untuk karyanya pada sejarah seksualitas manusia . Tulisan-tulisannya pada kekuasaan , pengetahuan, dan wacana telah banyak dibahas dan diambil oleh orang lain. Pada tahun 1960 Foucault dikaitkan dengan strukturalisme , sebuah gerakan dari mana ia menjauhkan diri. Foucault juga menolak pascastrukturalis dan postmodernis label kemudian dikaitkan dengannya, memilih untuk mengklasifikasikan pemikiran sebagai sejarah kritis modernitas berakar pada Kant . Foucault's proyek ini terutama dipengaruhi oleh Nietzsche , "nya" silsilah pengetahuan sindiran langsung ke Nietzsche "silsilah moralitas" . Dalam sebuah wawancara akhir dia secara definitif menyatakan: "Saya seorang Nietzschean."
Pada tahun 2007 Foucault tercatat sebagai dikutip sarjana yang paling dalam humaniora oleh The Times Higher Education Guide.
Awal kehidupan
Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Poitiers , Perancis Paul-Michel Foucault untuk sebuah keluarga provinsi terkemuka. Ayahnya, Paul Foucault, adalah terkenal ahli bedahdan berharap anaknya akan bergabung dalam profesi. pendidikan awal Nya adalah campuran dari keberhasilan dan biasa-biasa saja sampai ia menghadiri Jesuit College Saint-Stanislas, di mana ia unggul. Selama periode ini, Poitiers adalah bagian dari Perancis dan kemudian berada di bawah pendudukan Jerman. Setelah
Perang Dunia II , Foucault dibawa ke bergengsi École Normale Supérieure (rue d'Ulm), pintu gerbang tradisional ke akademik karir di humaniora di Perancis .
The École Normale Supérieure
kehidupan pribadi Foucault selama École Normale sulit-ia menderita depresi akut . Sebagai hasilnya, ia dibawa ke menemui psikiater. Selama waktu ini, Foucault menjadi terpesona dengan psikologi . Beliau memperoleh lisensi (setara derajat BA) dalam psikologi, baru kualifikasi yang sangat di Prancis pada saat itu, di samping gelar dalam filsafat, pada tahun 1952.Ia terlibat dalam kelompok klinis psikologi, yang terkena dia untuk pemikir seperti Ludwig Binswanger .
Foucault adalah seorang anggota Partai Komunis Perancis 1950-1953. Ia dilantik ke pesta dengan mentornya Louis Althusser , tetapi segera menjadi kecewa dengan baik politik dan filosofi partai. Berbagai orang, seperti sejarawan Emmanuel Le Roy Ladurie , telah melaporkan bahwa Foucault tidak pernah secara aktif berpartisipasi dalam Surat sel, tidak seperti banyak dari sesama anggota partai.
Pemikiran
Pemikiran Foucault sangat dipengaruhi Nietzsche, namun dia tidak sepenuhnya sebagai pengikut Nietzsche, sebab baginya, Nietzsche yang diikutinya adalah seseorang yang orisinal, begitu pun dengan dia yang harus orisinal dengan pandangan pribadinya. Bahkan dia tidak jarang tidak sependapat dengan filsuf pujaannya itu.Hal ini terdapat dalam teori Genealogi Foucault. Di sini, bahasa bagi Foucault tidak bisa dikurung dalam "apa yang ditulis" dan "apa yang menjadi tafsirnya", keduanya saling terjalin tanpa pemisahan. Hal ini adalah salah satu dari pemikirannya tentang subjek dan objek, bahwa bahasa yang ditulis dan menjadi tafsirnya tidak bisa dipisahkan dalam subjek dan objek Keduanya terserak tanpa teratur, tanpa terstruktur secara baku.Tentang subjek dan objek, filsuf tahun 60an adalah filsuf yang merayakan kematian subjek (pengada awal) yang disejajarkan dengan Tuhan. Lalu setelah itu, jika Tuhan mati, maka manusia yang mengikuti Tuhan juga mati.Sebab manusia yang mengikuti Tuhan itu tidak punya kuasa atas dirinya tanpa Tuhan yang memberi makna padanya.Maka dari sini filsafat yang selama ini berkutat pada humanisme sudah tamat. Maka manusia baru pun bisa 'dibangkitkan' lagi.Namun Foucault sendiri bersedih karena kehilangan makna seiring hilangnya subjek (Tuhan) tadi.
Subjek menurut Foucautl subjek yang sejajar dengan individu hanya akan bisa ditelaah melalui kekuasaan. Lalu kekuasaan sendiri baginya bukanlah nominalis, tidak pejal dan tidak bisa dipegang, dia adalah peng-kata-an dari multiplisitas dan jalinan kekuatan-kekuatan. Kekuasaan bukan sesuatu yang bisa dimiliki, bahkan oleh kaum dominan sekali pun, tidak bisa dipengaruhi oleh kepenuhan hukum atau pun kebenaran, dia tidak tunduk pada teori politik normal, tidak bisa direduksi oleh representasi [hukum]].Kemudian hubungan antara subjek dan kekuasaan adalah bukan pelaku dan produk.Sebab bukan subjek (secara substantif) yang menciptakan kekuasaan, namun kekuasaanlah yang mempengaruhi adanya subjek, dan sifatnya tidaklah tetap seperti hasil penemuan (founding subject).Demikian manusia juga akhirnya dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan manusia mempengaruhi kekuasaan.Bahkan subjek pada akhirnya menihilkan kebebasan dan subjektivitas.Dengan begitu, kebebasan dan subjektivitas baru akan ditawarkan olehnya. Kebebasan semacam apa itu, kebebasan yang senantiasa dapat mengendalikan kekuasaan dan kehendak pada subjek yang dihasilkannya.Pendefinisian kekuasaan dan kehendak itu kemudian dipakai oleh, salah satunya oleh pengaturan kehidupan seksualitas di Eropa pada masa Ratu Victoria I (1819-1901) Karena Ratu sangat dominan dalam mengendalikan rakyatnya, maka dia juga mengatur hal-hal kecil dari rakyatnya.Kehidupan seksualitas yang bebas harus dipisahkan dari kesopanan di Eropa.Di sini tampak bahwa kekuasaan yang diartikan oleh Foucault yang berhubungan dengan kehendak itu harus dibatasi oleh sistem pemerintahan.Pemikiran yang bersifat mekanisme ini dinyatakan olehnya sebagai sesuatu yang efektif, bukan mistis seperti yang ditawarkan fenomenologi.Menurut dia, kekurangan dari fenomenologi bisa dijawab oleh sains (ilmu tentang manusia, misalnya psikologi).Namun hal ini juga akan disadari olehnya sebagai penyesatan belaka, sama dengan penyelidikan filosofis.Akhirnya dia memutuskan untuk kembali pada zaman pencerahan pasca Descartes pada abad 17, yaitu ketika manusia menyukai dialog dan kegilaan. Kegilaan yang dia maksud adalah bidang medis, hal ini cocok dengan pengalamannya bekerja di Rumah Sakit Jiwa.
Postmodernisme lebih dikenal sebagai gerakan pemikiran dan bukan merupakan suatu teori perubahan sosial, namun, analisis dan kritik Postmodernisme terhadap proyek modernisme termasuk kritik. Michel Foucault merupakan salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Postmodernisme, yang menyumbangkan perkembangan teori kritik terhadap teori pembangunan dan modernisasi dari perspektif yang sangat berbeda dengan teori-teori kritik lainnya (Mansour Fakih, 2002).
Pada tahun 1980, Foucault diidentikkan dengan gerakan Postmodernisme, yaitu ketika ia menuangkan pemikirannya dalam beberapa tulisan, yaitu diantaranya The Order of Things, The Archeology of Knowledge, Dicipline and Punish, Language, Counter Memory, Practise, The History of Sexuality dan Power Knowledge. Analisisnya yang terkait dengan discourse, power dan knowledge merupakan sumbangan yang besar terhadap kritik pembangunan. Menurutnya diskursus pembangunan merupakan alat untuk mendominasi yang dilakukan oleh Dunia Pertama kepada Dunia Ketiga. Selama empat dekade terakhir, diskursus pembangunan menjadi strategi yang dominan dan digunakan sebagai alasan untuk memecahkan masalah “keterbelakangan” yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Tetapi, dalam kenyataannya keterbelakangan masyarakat tersebut adalah diakibatkan oleh kolonialisme yang berkepanjangan. Dengan dilontarkannya diskursus pembangunan tersebut maka tidak saja melanggengkan dominasi dan eksploitasi di negara Dunia Ketiga, tetapi diskursus pembangunan tersebut justru juga menjadi media penghancuran segenap gagasan alternatif masyarakat di negara Dunia Ketiga terhadap ideologi kapitalis.
Pemikiran Foucault yang utama adalah penggunaan analisis diskursus untuk memahami kekuasaan yang tersembunyi di balik pengetahuan. Analisisnya terhadap kekuasaan dan pengetahuan memberikan pemahaman bahwa peran pengetahuan pembangunan telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal. Ia mencontohkan bahwa pembangunan di negara Dunia Ketiga merupakan tempat berbagai kekuasaan dunia sekaligus adanya hubungan penting tentang berperanannya kekuasaan di negara-negara tersebut. Dalam karyanya tentang A Critique of Our Historical Era (dalam Wahyudi, 2006), Foucault melihat ada problematika dalam bentuk modern pengetahuan, rasionalitas, institusi sosial, dan subyektivitas. Semua itu, menurutnya terkesan given and natural, tetapi dalam faktanya semua itu adalah “serombongan konstruk sosiokultural tentang kekuasaan dan dominasi”. Selanjutnya, menurut argumentasinya bahwa hubungan antara bentuk kekuasaan modern dan pengetahuan modern telah menciptakan bentuk dominasi baru. Bagi Foucault, selain eksploitasi dan dominasi, ada satu bentuk yang diakibatkan oleh suatu diskursus, yakni subjection (bentuk penyerahan seseorang pada orang lain sebagai individu, seperti pasien pada psikiater). Oleh karena itu, yang perlu dipelajari adalah upaya untuk membangkitkan kembali local centres dari power knowledge, pola transformasinya, dan upaya untuk masukkan ke dalam strategi dan akhirnya menjadikan pengetahuan mampu mensupport kekuasaan. Menurut pemikirannya, bahwa setiap strategi yang mengabaikan berbagai bentuk power tersebut maka akan terjadi kegagalan. Untuk melipakgandakan power, harus berusaha bertahan dan melawan dengan jalan melipatgandakan resistensi dan kontra-ofensif. Localize-resistence tersebut haruslah bersifat radikal dan tanpa kompromi untuk melawan totalitas kekuasaan (daripada memakai cara revolusi massa), dengan strategi yang ditujukan untuk mengembangkan jaringan kerja perjuangan, kantong-kantong resistensi dan popular base. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah analisis power tertentu (antar individu, kelompok, kegiatan dan lain-lain) dalam rangka mengembangkan knowledge strategies dan membawa skema baru politisi, intelektual, buruh dan kelompok tertindas lainnya, dimana power tersebut akan digugat.
Pemikiran Foucault tentang kontrol penciptaan diskursus dan bekerjanya kekuasaan (power) pada pengetahuan sangat membantu para teoritisi dan praktisi perubahan sosial untuk melakukan pembongkaran terhadap teori dan praktek pembangunan. Hal ini perlu diperhatikan karena tanpa menganalisis pembangunan sebagai suatu diskursus, maka akan sulit untuk memahami bagaimana Negara Barat mampu melanggengkan kontrol secara sistematik dan bahkan menciptakan ketergantungan negara Dunia Ketiga secara politik, budaya dan sosilogi kepada Negara Barat tersebut. Meskipun underdevelopment adalah formasi sejarah yang riil, tetapi hal tersebut telah melahirkan praktek dominasi terhadap Dunia Ketiga. Sejarah dominasi tersebut telah terjadi sejak abad penaklukan “dunia baru” hingga saat ini. Sebelum tahun 1945, strategi dominasi dilakukan dengan menggunakan diskursus “dunia terbelakang”, dan pada era pasca kolonialisme dengan mendirikan IBRD, tahun 1940an dan 1950an dominan dilakukan dengan diskursus pembangunan. Negara kaya, dengan kekayaan dan teknologinya, merasa mampu untuk menyelamatkan kemajuan dunia dengan menciptakan Marshall Plan, yang ditujukan untuk menjadikan negara miskin menjadi kaya, keterbelakangan berubah menjadi pembangunan. Organisasi internasional diciptakan untuk tujuan tersebut, yang diperkuat dengan pengetahuan ekonomi baru dan diperkaya dengan desain sistem manajemen yang canggih, sehingga membuat mereka menjadi yakin akan keberhasilannya. Dalam aplikasi dan kenyataan yang ada di negara Dunia Ketiga, telah terjadi intervensi yang mendalam atau terbentuk kekuasaan dan kontrol baru yang sangat halus baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan bidang lainnya. Dengan kata lain, Dunia Ketiga menjadi target dari kekuasaan dalam berbagai bentuk dari lembaga kekuasaan baru Amerika dan Eropa, lembaga internasional, pemodal besar (perusahaan transnasional) sehingga dalam beberapa tahun telah mencapai ke semua lapisan masyarakat. Dan ketika pembangunan mengalami krisis, diskursus baru telah dilontarkan, yaitu globalisasi, untuk melanggengkan subjection, dominasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Negara Barat terhadap Dunia Ketiga.
Sumbangan terbesar Foucault terhadap teori dan praktek perubahan sosial adalah membuat teori ini lebih sensitif terhadap relasi kekuasaan dan dominasi dan menyadarkan kita bagaimana relasi kekuasaan (power) teranyam disetiap aspek kehidupan serta kehidupan pribadi, dan ini bertentangan dengan umumnya kenyataan ilmu sosial yang cenderung mengabaikan “kekuasaan” dalam dunia ilmu pengetahuan, dan asumsi bahwa pengetahuan itu netral, obyektif dan tak berdosa. Kecenderungan memandang bahwa kekuasaan hanya terpusat di negara ataupun kelas, bagi Foucault merupakan pengingkaran kenyataan, karena relasi kekuasaan terdapat pada setiap aspek kehidupan. Konsep tentang kekuasaan (power) ini memberikan pengaruh besar tentang bagaimana aspek dan pusat lokasi dari kekuasaan serta bentuk perjuangan untuk membatasi dan bagaiana berbagai kekuasaan. Jika umumnya kekuasaan hanya tertuju pada negara dan kelas elit, pemikiran Foucault membuka kemungkinan untuk membongkar semua dominasi dan relasi kekuasaan, seperti kekuasaan dalam pengetahuan antara para pencipta diskursus, birokrat, akademisi, dan rakyat miskin jelata yang “tidak beradab” yang harus disiplinkan, diregulasi dan “dibina” (Mansour Fakih, 2002).Dalam artikelnya tentang relevansi karya Foucault bagi kajian Dunia Ketiga, Escobar (dalam Muhadi Sugiono, 1999) mencatat bahwa sekurang-kurangnya ada tiga strategi utama lewat mana doktrin dan teori pembangunan dianggap berfungsi sebagai mekanisme kontrol dan disiplin, yaitu normalisasi mekanisme. Strategi pertama disebut “inkorporasi progresif problem”, yaitu teori-teori dan doktrin-doktrin pembangunan memuat berbagai problem yang harus mereka sembuhkan, artinya munculnya teori dan doktrin tersebut didahului dengan penciptaan problem pembangunan, yaitu “abnormalisasi”, dan mereka selipkan dalam domain pembangunan, sehingga memberikan justifikasi bagi para penentu kebijakan dan ilmuwan Negara Barat untuk melibatkan dan mencampuri urusan domestik negara Dunia Ketiga. Strategi kedua disebut “profesionalisasi pembangunan”, yaitu problem pembangunan atau abnormalisasi setelah dimasukkan ke dalam domain pembangunan, maka menjadi masalah teknis dan terlepas dari persoalan politis, sehingga dianggap lebih bebas nilai dan merupakan bahan penelitian ilmiah. Dengan demikian problem pembangunan telah diprofesionalisasi melalui kontrol pengetahuan. Strategi ketiga disebut “institusionalisasi pembangunan”, yaitu doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan diberlakukan untuk berbagai level organisasi atau institusi, baik lokal, nasional maupun internasional, dan kesemua itu merupakan jaringan dimana hubungan baru kekuasaan pegetahuan telah terjalin dengan rapi dan sangat kuat. Ketiga strategi tersebut menunjukkan bagaimana pemberlakuan doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan sebenarnya hanya untuk melayani kepentingan Negara Barat (Amerika Serikat) sebagai kekuasaan hegemoni dalam tatanan internasional pasca Perang Dunia Kedua dan bukan untuk kepentingan negara-negara Dunia Ketiga yang menjadi sasaran doktrin-doktrin dan teori-teori pembangunan tersebut.
Kesimpulan
Sejak muncul sebagai kajian ilmu yang berdiri sendiri, ilmu sejarah mengalami beberapa perubahan seiring dengan perubahan jaman. Penulisan sejarah dari yang bersifat konvensional kemudian berkembang ke arah development historis ketika diasumsikan ada sekelompok masyarakat yang ingin menghadirkan masa lalu ke masa kini. Pemikiran sejarah juga sempat dipengaruhi oleh pandangan marxisme yang menempatkan manusia tak dapat dipisahkan dari sejarah. Selanjutnya pemikiran sejarah mengalami perubahan lagi dengan hadirnya aliran posmodernisme yang menolak faktor-faktor universal dan hanya menekankan the particular, keunikan lokal.
Foucault adalah bagian dari aliran posmodernisme yang memberi warna tersendiri dalam perkembangan pemikiran sejarah. Sebagian orang juga memasukkan Foucault dalam aliran strukturalisme karena pemikirannya ada persamaan dengan strukturalisme.
Dalam pemikiran sejarah, dia lebih fokus untuk melihat sejarah masa kini daripada masa lampau, meskipun sesungguhnya pemikiran filsafat sejarahnya tidak menggambarkan perhatian Foucault secara menyeluruh. Inti dasar pandangannya adalah penggunaan metode arkeologis dan genealogis dalam kajian sejarah. Arkeologi disini dimaksudkan untuk menguji arsip, sementara genealogi ditujukan untuk melawan penulisan sejarah dengan metode tradisional.