.


Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah 7 Jun 2014

Al-Razi
http://filsafat-pemula.blogspot.co.id/

Biografi Al-Razi
Al-Razi bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Razi. yang dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Razes. Dia lahir di Rayy, sebuah kota tua yang dulu bernama Rhogge, Propinsi Khurasan, dekat Teheran, pada tanggal 1 Sya’ban tahun. 251 H / 856 M dan wafat tahun 925 M./ 313 H
Al- Rozi yang wafat tahun 925 M, adalah seorang filosuf dan orang kenamaan yang berkenaan dengan kedokteran”.
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Razi yakni Abu Hatim Al-Razi, Fakhrudin Al-Razi, dan Najmudin Al-Razi, bahkan ada Quthb A-Din Mahmu8d ibn Dhia A-Din Mas’ud Al-Syirozi yang lahir di kota Syirozi Persia pada tahun 634 H / 1236 M.oleh karena itu untuk membedakan Al-Razi, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar yang merupakan nama Kun-Yah- nya (gelarnya)”.

Pada masa mudanya ia pernah menjadi tukang intan, penukar uang, dan pemain kecapi. Kemudian ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.

Al-Razi terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya. Karena itu ia sering memberikan pengobatan Cuma-Cuma kepada orang miskin. Namun ungkapan Abdul. Latif Muhammad Al-‘Abd terlalu berlebihan yang mengatakan bahwa Al-Razi tidak memiliki harta sampai ia meninggal dunia. Kenyataan ia sering pulang pergi antara Baghdad dan Rayy. Hal ini menunjukkan bahwa ia masih mempunyai uang”.

Pendidikan yang diperoleh al-Rozi dari Hunayn bin Ishaq, mengantarkannya menjadi manusia produktif. Bahkan, produktifitasnya melebihi gurunya, terutama di bidang medis.

Kepribadian al-Razi dilukiskan sebagai seorang yang sangat murah hati, dermawan dan ulet.. Oleh karena itu dapat dipahami secara logis apabila, dari dua disiplin utama (kedokteran dan filsafat) yang ditekuninya, rentang kehidupannya lebih banyak terkonsentrasi pada bidang medis yang berkaitan langsung dengan jasa pelayanan sosial, dari­pada bidang filsafat yang bertumpu pada kepentingan elit-intelektual/ budaya.

Kejeniusan dan repuasinya yang baik di bidang kedokteran, menjadikannya diangkat sebagai direktur rumah sakit di Rayy semasa ia menjelang usia tigapuluh tahun, kemu­dian di Baghdad. Bahkan dia berprestasi sebagai “dokter Islam yang tidak ada bandingannya”. Di sisi lain, dia dije­laskan oleh beberapa ahli telah pandai memainkan harpa pada masa mudanya dan pernah menjadi money changer, sebelum beralih ke filsafat dan kedokteran.

Sedangkan karirnya di bidang intelektual terbukti pada karya tulisnya yang tidak kurang dari 200 jilid tentang berbagai pengetahuan fisika dan metafisika (medis, astrono­mi, kosmologi, kimia, fisika, dan sebagainya, kecuali mate­matika, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, benar-benar dihindarinya. Dalam bidang medis, al-Razi menulis buku –sebagai karya terbesar-tentang penyakit cacar dan campak, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bukunya al-Hawi yang lebih terkenal dengan sebutan al-Jami‘, terdiri atas 20 jilid yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, dan telah diterjemahkan dalam bahasa latin dengan judul Continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa sampai abad 17 M”, Yang membahas berbagai cabang ilmu kedokteran, sebagai buku pegangan selama lima abad (abad 13-17) di Eropa dan salah satu dari kesembilan karangan seluruh perpustakaan Fakultas Kedokteran Paris di tahun 1395 M.

Khusus di bidang filsafat, hanya sejumlah kecil karya al-Razi, sekitar 100 buku yang telah ditemukan. Berikut ini disajikan karya-karya tersebut:
1. Sekumpulan karya logika berkenaan dengan Kategori-Kategori, Demonstrasi, Isagoge, dan Kalam Islam;
2. Sekumpulan risalah tentang metafisika pada umumnya;
3. Materi Mutlak dan Partikular;
4. Plenum dan Vacum, ruang dan waktu;
5. Fisika;
6. Bahwa dunia mempunyai Pencipta yang Bijaksana;
7. Tentang keabadian dan ketidakabadian tubuh;
8. Sanggahan terhadap Proclus;
9. Opini fisika: “Plutarch” (Placita Philosophorum);
10. Sebuah komentar tentang Timaeus;
11. Sebuah komentar terhadap komentar Plutarch tentang Temaeus;
12. Sebuah risalah yang menunjukkan bahwa benda-benda ber­gerak dengan sendirinya dan gerakan itu pada hakikatnya adalah milik mereka;
13. Obat pencahar rohani (Spiritual Physic);
14. Jalan filosofis;
15. Tentang Jiwa;
16. Tentang perkataan imam yang tak dapat salah;
17. Sanggahan terhadap kaum Mu’tazilah;
18. Metafisika menurut ajaran Plato; dan
19. Metafisika menurut ajaran Socrates.
Melalui karya-karyanya, al-Razi menampilkan dirinya sebagai filosof-platonis, terutama dalam prinsip “lima ke­kal” dan “jiwa”nya. Di samping itu, ia juga pendukung pan­dangan naturalis kuno.
Selain ulet, ia juga seorang tokoh intelektual yang berani, sehingga ia dijuluki sebagai tokoh non-kompromis terbesar di sepanjang sejarah intelektual Islam. Di antara bukti keberaniannya dituangkan dalam pandangannya tentang “jiwa” dan “kenabian dan agama”.
Meskipun al-Razi menulis sejumlah karya monu­mental dan memiliki keberanian pemikiran, akan tetapi pamor kreasi kemedisannya lebih mencuat dibanding dengan buah filsafatnya. Oleh karena itu dapat dipahami, apabila dalam seleksi unggulan peta kajian filsafat –baik di panggung global maupun di ring filsafat Islam sendiri, ia tidak terekrut di dalamnya. Demikian ini didasarkan pada sejauh beberapa referensi yang telah penulis periksa.
Kajian Fakhry, yang menempatkan al-Razi pada periode awal penulisan filsafat sistematik (abad kesembilan). Kajian Madkour, yang memposisikan al-Razi pada sisi kecil tentang teori kenabian yang berdampingan secara aktif dengan bebera­pa tokoh dan mazhab filsafat Yunani dan Islam. Kemudian, kajian Ali, yang secara khusus membahas al-Razi –meskipun sangat ringkas- sebagai anggota mazhab filsafat Dunia Islam bagian Timur.
Sebagai orang yang terkenal pada dasarnya, Ia mempunyi banyak murid yang belajar kepadanya. Metode penyampaian pemikirannya adalah bersistem pengembangan daya intekektual. Apabila ada seorang murid yang bertanya maka pertanyaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilemparkan kembali kepada murid- murid lainnya yang terbagi beberapa kelompok .
Apabila kelompok pertama tidak bisa memecahkannya maka pertanyaan itu dilemparkan kepada kelompok kedua dan begitu seterusnya. Sehingga apabila tidak ada yang sanggup, Maka Al-Razi sendiri yang menjawabnya. Diantara muridnya yang cerdas adalah Abu bakar Ibnu Qorin Al-Razi yang kemudian menjadi seorang dokter. Al-Razi jika bersama murid- muridnya atau pasiennya, ia selalu menggunakan waktunya untuk menulis dan belajar. Kemungkinan hal itu sebagai salah satu yang menyebabkan penglihatannya berangsur – angsur melemah dan merupakan indikasi kebutaan matanya”
Sampai menjelang wafat, ia terkena penyakit buta, tetapi menolak untuk diobati dan mengatakan pengobatan akan sia – sia belaka karena sebentar lagi akan meninggal.


Filsafat Al- Razi
1. Lima Kekal / Qodim
Al-Razi adalah seorang rasionalis murni, hal itu tampak dalam halaman pendahuluan karyanya, al-Thibb al-Ruhani, ia menulis : “ Tuhan, segala puji bagi-Nya yang telah memberi akal agar dengan-Nya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat; inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik, dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita. Suatu pengetahuan tertinggi dapat kita peroleh. Jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh melecehkannya, kita tidak boleh menentukannya. Sebab ia adalah penentu, atau mengendalikannya. Sebab ia adalah pengendali atau memerintahnya, sebab ia adalah pemerintah tetapi kita harus merujuk kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalahnya: kita harus sesuai dengan perintahnya”.
Filsafat Al-razi terkenal dengan ajarannya lima yang kekal, yakni al- Bari T’ala (Allah Ta’ala) al-Nafs al-Kulliyyat (jiwa universal), al-Hayuli al- Ula (Materi pertama), al-makan al-Muthlaq (tempat/ruang absolut), dan al- Zaman al-Muthlaq (masa absolut)”.
Prinsip lima yang kekal (five co-eternal principles/ al-mabadi’ al-Qadimah al-Khamsah) menurut al-Razi adalah: (1) Sang Pencipta, (2) jiwa universal, (3) materi pertama, (4) ruang absolut, dan (5) waktu absolut. Penjelasannya secara pasrial demikian:
1) Sang Pencipta adalah Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna.
2) Jiwa universal adalah jiwa yang hidup dari jasad ke jasad sampai suatu waktu menemukan kebebasan yang hakiki.
3) Materi pertama adalah materi yang dari padanya Tuhan menciptakan dunia. Materi ini terdiri dari atom-atom yang mempunyai volume. Atom-atom ini mengisi ruang sesuai dengan kepadatannya. Tanah merupakan atom yang paling padat, kemudian air, hawa dan api.
4) Ruang absolut adalah adalah ruang yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.
5) Masa absolut adalah masa yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir.
Allah adalah Maha Pencipta Pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada , tetapi dari sesuatu yang telah ada karena itu, alam semestinya tidak kekal, sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.
Dua prinsip pertama (Sang Pencipta dan jiwa universal), dalam sistem al-Razi dikaitkan secara erat dengan usaha yang berani untuk bergulat dengan masalah yang mendesak bagi pembenaran penciptaan dunia yang sedemikian mengganggu pikiran para filosof sejak zaman Plato, sebagaimana dipa­parkan pada bagian akhir sub tulisan ini.
Sedang Jiwa sama-sama kekal dengan Tuhan. Oleh karena jiwa butuh materi (prinsip ketiga), maka Tuhan terpaksa mencipta­kan kesatuan dengan bentuk-bentuk material.
Dan untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Razi memajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan pencipta materi yang diciptakan oleh pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidak mungkinan pencipta dari Creatio ex nihilo. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali. Bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal”.
Sementara itu, waktu merupakan semacam gerak. Waktu universal tidak dapat diukur dan tidak terbatas (al-dahr), yang merupakan ukuran perlangsungan dunia akali, yang berbe­da dengan ukuran perlangsungan dunia inderawi, yang disebut oleh Plato sebagai “bayang-bayang keabadian yang bergerak-gerak”. Sedangkan waktu partikular dapat diukur dan terba­tas. Berkat cahaya akal, maka jiwa, yang telah terpikat oleh bentuk-bentuk material dan kesenangan-kesenangan inderawi, pada akhirnya sadar akan kedudukannya yang sejati dan ter­dorong untuk mencari tempat pemukimannya kembali di dunia akali, yang merupakan tempat tinggal yang hakiki.

Prinsip lima kekal itu merupakan sebuah sistem metafi­sika yang koheren. Sistem ini mencerminkan daya kecerdikan al-Razi, sebagai pembenaran terhadap tesis filosofis bahwa dunia ini diciptakan, dan sekaligus sebagai obat bagi kebin­gungan para filosof.
Persoalan yang dihadapi oleh mereka bukan sekadar “apakah dunia ini diciptakan atau tidak?”, akan tetapi lebih rumit ketika melewati batas-batas risalah polemik teologi dan filsafat, baik dalam Islam maupun Kristen –apakah Tuhan menciptakan dunia, melalui “keniscayaan alam” (necessity of nature) atau melalui tindakan bebas?. Persoalan ini pernah dinyatakan oleh kaum Skolastik Latin.
Apabila “kemestian alam” yang dituntut, maka konsekuen­si logisnya adalah, bahwa Tuhan, yang menciptakan dunia dalam waktu, berada dalam waktu itu sendiri. Sebab suatu produk alamiah harus terjadi secara niscaya atas pelaku alamiahnya dalam waktu. Di sisi lain, apabila tindakan “kehendak bebas” yang dijadikan jawaban, maka ada pertanyaan lain yang segera muncul: “mengapa Tuhan lebih senang mencip­takan dunia dalam waktu partikular daripada dalam cara yang lainnya?”.

2. Jiwa
Pada poin ini, ada sesuatu yang mengejutkan pendirian Aristotelianisme dan ajaran Islam, yakni pernyataan keyakin-an al-Razi kepada Pythagorean-Platonik tentang metempsikosis (transformasi jiwa).
Menurutnya, jiwa, meskipun asalnya hidup, tidak sabar dan dalam keadaan bodoh. Oleh karena terpesona oleh materi, maka ia berusaha untuk dipersatukan dengannya dan untuk dianugerahi bentuk yang memungkinkannya dapat menikmati kesenangan-kesenangan jasmani. Jadi, Tuhan menciptakan dunia semata-mata menolong ruh ketika ia tertarik pada materi pertama, sedang materi pertama memberontak. Tuhan kemudian menolong ruh dengan membentuk alam ini dengan susunan yang kuat sehingga ruh dapat mencari kesenangan didalamnya”
Tetapi, karena ada perlawanan materi terhadap kegiatan jiwa yang sedang dalam pembentukan, maka Tuhan “bermurah hati” untuk membantunya dan menciptakan dunia ini, dengan bentuk materialnya, agar jiwa dapat melam­piaskan nafsu syahwatnya untuk menikmati bagian kesenangan-kesenangan material untuk sementara waktu.
Demikian juga, Tuhan menciptakan manusia dan memberinya akal dari “esensi ketuhanan-Nya”, sehigga akal pada akhirnya dapat menggugah jiwa dari keterbuaian jasmaninya dalam tubuh manusia, dan mangingatkannya pada nasib (hakikat)nya yang sejati sebagai warga dunia yang lebih tinggi (akali) dan akan tugasnya untuk mencari dunia tersebut melalui pengka­jian filsafat. Ketika jiwa sampai ke taraf ketagihan terha­dap pengkajian filsafat, ia berhak memperoleh keselamatannya dan bergabung kembali dengan dunia akali dan dengan demikian ia terbebas –sebagaimana dikatakan oleh kaum Pythagorean kuno-dari “jantera kelahiran”. Ketika tujuan akhir ini tercapai dan jiwa manusia yang dibimbing oleh akal telah kembali ke tempat asalnya yang sejati, “dunia yang lebih rendah” ini akan berhenti, dan materi, yang telah demikian lekat terjalin dengan bentuk, akan kembali kepada keadaannya semula yang betul-betul murni dan sama sekali tiada berben­tuk.
Pada konsepsi jiwa tersebut, al-Razi tidak saja menga­jukan sebuah teori yang berani dan orisinal tentang jiwa, akan tetapi juga memberikan penjelasan mengenai penciptaan dunia dalam waktu oleh Sang Pencipta. Konsepsi Pythagorean-Orphik tentang kembalinya jiwa secara melingkar dan pelepas-annya yang terakhir dari “jantera kelahiran” dikemukakan dengan tegas dan fungsi terapi mistik filsafat cukup diton­jolkannya.

3. Moral
Gagasan al-Razi tentang moral beraset konsep transmi­grasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan Filsafat), tarutama berkenaan dengan masalah penyembelihan hewan.
Al-Razi merasa terganggu oleh penderitaan hewan, teru­tama yang diakibatkan oleh perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain yang lebih baik, seperti tubuh manusia.

4. Kenabian dan Agama
Bagi al-Razi, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mengekangnya. Dan segala keputusan yang diambil manusia harus sesuai dengan perintah akal.”
Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan menyucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.
Al-Razi sama sekali menolak semua pemikiran yang irrasional. Bahkan, ia meragukan wahyu dan kenabian. Baginya penerimaan ajaran-ajaran yang dibawa para Nabi, tidak lebih dari sekedar tradisi dan akibat dari kekuasaan yang dimiliki oleh para pemuka agama atau karena terpengaruh oleh upacara keagamaan yang memikat perasaan orang yang taraf pemikirannya masih sederhana.” Bahkan dia mengkritik kitab-kitab suci, bahkan menolak al-Qur’an sebagai mukjizat baik m bahasa maupun kandungan isinya.” dan lebih menyukai buku-buku ilmiah.”
Paling tidak ada tiga alasan yang dikemukakan Ar-Razi, mengapa dia menolak wahyu dan kenabian :
- Akal sudah mencukupi intuik membedakan antara yang baik dan yang buruk, berguna dan tidak berguna. Bahkan dengan akal manusia dapat mengatur dirinya dan mengetahui Tuhan.
- Tidak ada keistimewaan bagi seseorang untuk mengatur dan membimbing orang lain, karena setiap manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama. Hanya saja dalam perjalanan hidup selanjutnya ada orang yang mampu memupuk ,dan menggunakan akalnya sesuai dengan latar belakang pendidikan masing-masing.
- Ajaran para Nabi saling bertentangan. Mereka ( pemeluk agama ) saling menjunjung tinggi ajaran Nabinya masing-masing, sehingga terjebak pada fanatisme buta dan menolak ajaran Nabi yang lain, sehingga menimbulkan pertentangan bahkan pembunuhan yang berakibat pada kesengsaraan manusia.”
Namun sebenarnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibu Prof. DR. Hj. Tsuroya Kiswati, dosen Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, bahwa Ar-Razi itu masih mempercayai para Nabi dan Nabi Muhamad SAW. Namun dia berpendapat sekiranya semua manusia itu dapat menggunakan akalnya dengan baik dan maksimal, maka nabi itu tidak diperlukan lagi, karena akal telah mampu mengetahui hakikat kebenaran , baik dan buruk serta hakikat ke Tuhanan.
Kritik terhadap al-Razi, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hatim al-Razi (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan al-Razi–dalam kitabnya A’lam al-Nubuwwah. Di dalamnya tidak ditegaskan nama al-Razi, akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain al-Razi. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh al-Razi kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial. Protes-protes ini, secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleg al-Rowan­di. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama.
Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan al-Razi-amat masyhur dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’an dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh al-Razi. Dalam hemat penu­lis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan al-Razi, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawinya telah menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.
Berakaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan Nabi sebagai pembawa berita eskatologis (alam keakhiratan), seperti kematian. Bagi Al- Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti, karean bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatupun terjadi pada manusia, karena ia tidak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila ia mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, sebab melalui mati ia pergi kedunia lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa tiada sesuatupun setelah mati, maka ia tidak perlu cemas. Betapapun orang yang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas”.

2.2 Karya-karya Ar-Razi
Al-Razi termasuk orang yang aktif berkarya, buku-bukunya sangat banyak, bahkan dia sendiri menyiapkan sebuah katalog yang kemudian diproduksi oleh Ibn Al Nadim.
Adapun buku-buku yang ditulisnya mencakup ilmu kedokteran, ilmu fisika, logika, mate matika dan astronomi, komentar-komentar dan ringkasan dan ikhtisar, filsafat dan ilmu pengetahuan hipotesis, atheism dan campuran.
Menurut Abu Abi Usaibah, buku Ar-Razi berjumlah 36 karya, tetapi ada beberapa yang tidak jelas pengarangnya. Dr. Mahmud al Najmaba di dalam bukunya Syarh Muhammad Ibn Zakaria yang diterbitkan pada tahun 1318 H, menyebutkan 250 judul.Brockelman menambahkan 59 judul lagi.Kemudian ada lagi yang berpendapat lain, yakni buku yang diproduksi oleh al Nadim berjumlah 118 buku, 19 surat, satu makalah dan 4 buku sehingga berjumlah 148 buah.
Adapun buku-buku itu diantaranya adalah :
a) Al Tibb al Ruhani
b) Al Shirath al Falsafiyah
c) Amarat Iqbal al Daulah
d) Kitab al Ladzdzah
e) Kitab al ibn al Ilahi
f) Makalah fi mabadd al tabiah
g) Al Syukur ‘alaProclas
Dan didalam bukunya Muhsin Labib, menyampaikan bahwa diantara karya-karya Ar-Razi adalah sebagai berikut :
1. Al-Ara’ wa ad – diyanat ( Studi tentang agama-agama dan sekte ).buku ini menjadi salah satu referensi penting.
2. Al-Insan ( Antropologi Islam ).
3. At-Tauhid wa huduts al-Ilal ( Monoteisme dan kebermulaan kausa-kausa ).
4. Ikhtisar kitab Al-Qaun wa al-fasad ( Ringkasan pandangan Aristoteles tentang kosmologi ).
5. Al-Khusus wa al-Umum.
6. Ar-Rad al-Munajimin ( Kritik atas para astrolog ).”
Demikian diantara karya-karyanya yang dapat dijumpai, sampai sekarang meski di antara buku-buku tersebut hanya terhimpun dalam suatu kitab yang dikarang oleh orang lain.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Ensiklopedia Tasawuf Filsafat dan Informatika FFSS - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Fitrah Ali Yusuf -