- Back to Home »
- Filsafat Abad Modern »
- Friedrich Schelling
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
26 May 2014
Friedrich Schelling
Biografi Friedrich Schelling
Friedrich Wilhem Joseph von Schelling atau biasa disebut dengan Friedrich Schelling merupakan filsuf Jerman yang lahir pada tanggal 27 Januari 1775 di Leonbergh, Wurttemberg. Ayahnya seorang pendeta dan pengajar Orientalis yang taat. Pada tahun 1783-1784, Scheling menjalani pendidikan di Nurtingen dan di sinilah dia mengenal Friedrich Holderlin (penyair), seniornya, yang kemudian
bersama-sama meninggalkan Nurtingen untuk belajar teologi di Tubingen meskipun usianya saat itu belum mencukupi. Dalam masa pedidikannya di Tubingen, dirinya dan Holderlin berkenalan dengan Hegel dan mulai mempelajari tentang pemikiran para filsuf Yunani kuno. Pada usianya yang ke-17, Schelling telah menulis desertasi tentang Bab III dari Kitab Kejadian (bagian dari Kitab Taurat). Dan pada tahun 1973, setahun setelah menyelesaikan kuliahnya, Schelling berkontribusi dalam peringatan Heinrich Eberhard Gottlob Paulus. Pada tahun 1795, dia menyelesaikan tesis untuk gelar teologia dengan judul “De Marcione Paullinarum epistolarum emendatore” dan mempelajari paham dari dua filsuf terkemuka, Kant dan Fichte, di waktu yang sama. Kedua filsuf inilah yang pada akhirnya banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Schelling.
Pada tahun 1794, Schelling menerbitkan sebuah eksposisi dari pemikiran Ficthe dengan judul die Moglichkeit einer Form der Philosophie uberhaupt (Kemungkinan Bentuk Filsafat pada Umumnya). Karyanya ini pun diakui oleh Fichte sendiri dan Schelling pun memiliki reputasi yang baik di kalangan filsuf karena hasil karyanya tersebut.
Tidak puas sampai di situ, pada tahun 1795 dia menerbitkan beberapa karya, yang salah satunya berjudul Vom Ich als Prinzip der Philosophie, oder uber das Unbedingte im menschlichen Wissen (Diri sebagai Prinsip Filsafat, atau Pada Pengetahuan Manusia yang Tertutup). Karya-karyanya ini pun masih tetap berada pada idealisme Fichte, dengan menunjukkan kecenderungan untuk menggunakan metode Fichte dalam applikasi yang lebih objektif dan menyatukan pandangan Spinoza ke dalamnya.
Pada umur 23 tahun, dia telah menjadi guru besar di Univeritas Jena sekaligus menjadi murid dan pembantu Fichte. Saat itu, dia banyak menjalin kontak dengan kalangan Romantisisme. Selanjutnya ia menikah dan berpindah mengajar ke kota Wurzburg. Di sinilah ia bergumul dengan pemikiran Jacob Boheme, seorang mistikus Yahudi di Jerman pada saat itu. Dan menyebabkan pecahnya persahabatan antara dirinya dengan Fichte.
Selanjutnya Schelling bermigrasi ke Muenchen pada tahun 1806. Pada saat itu, dia banyak menjalin kontak dengan Hegel dalam mengurus penyuntingan sebuah jurnal filsafat. Hegel merupakan saingan berat Schelling yang usianya 5 tahun lebih muda darinya. Namun setelah Hegel meninggal, Schelling menjadi kritikus ulung Hegelianisme di Berlin. Namun kontribusi besarnya dalam dunia filsafat tak membuat Schelling dikenang hingga akhir hayatnya. Pada tanggal 20 Agustus 1854, Schelling meninggal di Bad Ragaz dalam keadaan kesepian dan dilupakan.
Pemikiran
Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling juga merupakan filosof yang menganut aliran idealisme, selain Plato (477 -347 SM); Spinoza (1632 -1677); Liebniz (1685 -1753); Berkeley (1685 -1753); Immanuel Kant (1724 -1881); J. Fichte (1762 -1814); dan G. Hegel (1770 -1831). Pemikiran Schelling tampak pada teorinya tentang ‘yang mutlak’ mengenai alam. Pada dirinya yang mutlak adalah suatu kegiatan pengenalan yang terjadi terus – menerus yang bersifat kekal.
Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling telah mencapai kematangan sebagai filosof sejak ia masih belia. Dan hingga akhir hidupnya pemikiran – pemikirannya pun selalu berkembang. Meskipun begitu, kontinuitas tetap ada dalam tiap perkembangan pemikirannya. Ia adalah filosof Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel. Bersama Hegel dan Fichte, ia menjadi tokoh idealisme terbesar di Jerman pada masanya. Sehingga dapat dikatakan kalau pemikiran Schelling merupakan mata rantai antara Fichte dan Hegel.
Jika Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral, dalam pandangan Schelling, realitas adalah identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis.
Pada Schelling dan juga pada Hegel, realitas adalah proses rasional evolusi dunia menuju realisasi berupa suatu ekspresi kebenaran terakhir. Tujuan proses itu adalah suatu keadaan kesadaran diri yang sempurna. Schelling menyebut proses ini sebagai Identitas Absolut, sedangkan Hegel menyebutnya Ideal. Alam semesta ini, katanya tidak pernah bisa dibayangkan sebagai sistem rasional. Di sini ia memperlihatkan bahwa susunan rasional adalah kontruks hipotesis yang memerlukan pembuktian nyata, baik pada alam maupun pada sejarah.
Reese (1980: 511) menyatakan bahwa filsafat Schelling berkembang melalui lima tahap. Yakni:
1. Idealisme subyektif
2. Filsafat alam
3. Idealisme transendental atau idealisme obyektif
4. Filsafat identitas
5. Filsafat positif.
Sesuai dengan periode pertama pemikiran Schelling, yaitu Idealisme subyektif, sang guru, Fichte menjelaskan bahwa pengetahuan harus bertolak dari pengalaman (erfahrung). Pengalaman di sini, adalah presentasi. Yang kemudian ia golongkan menjadi dua jenis, yaitu presentasi dengan rasa bebas dan presentasi dengan keniscayaan. Perbedaan antara dua presentasi tersebut dalam segi kemandiriannya adalah bahwa presentasi pertama tidak membutuhkan obyek, karenanya disebut bebas dan presentasi kedua tergantung pada obyek. Dalam pengalaman (erfahrung) terdapat dua unsur yang saling terkait, yaitu subyek (kita) dan obyek (hal di luar kita). Fichte mengunggulkan subyek atas obyek karena subyek menghasilkan pengalaman aktual. Dari titik ini, kita akan menilik periode kedua Schelling yang menentang teori pertamanya, yaitu filsafat alam. Dalam filsafat alam ia mengungkapkan ketidak-sepakatannya terhadap pengunggulan subyek atas obyek. Menurutnya, pembedaan semacam itu muncul dari refleksi yang bermula dari perasaan dan bukannya filsafat. Perbedaan antara subyek dan obyek adalah berawal dari refleksi. Refleksi menjadikan jarak antara sesuatu yang ada di luar kita (alam) dan konsep yang kita tangkap dari ide kita (roh). Refleksi membanguan pangkal pembedaan antara yang riil dan ideal. Jika pembeda ini dihapuskan, maka kita akan memperoleh kesatuan. Karena jarak antara subyek dan obyek hanya akan membuat kita tertipu, hal tersebut hanya berdasarkan perasaan belaka. Yang harus kita lakukan adalah pendasaran pada filsafat hingga kemudian kita memahami bahwa yang dipikirkan dan yang memikirkan sebenarnya adalah satu (ittihad al-aqil wa al-ma’qul). Manusia memiliki kemampuan berfikir tentang segala yang ada di alam. Dia, dengan Roh-nya akan bertanya sesuatu hal dan memaksa alam untuk menjawabnya (proses dialog). Proses dialog menjelaskan bahwa alam memiliki jawaban dari pertanyaan manusia, yang juga diimplikasikan sebagai roh. Jadi kesimpulannya alam dan roh adalah satu. Alam adalah roh yang tampak dan roh adalah
alam yang tak tampak dan bahwa materi adalah kecerdasan yang tidur. Dari situ kemudian dapat dipahami bahwa alam tidak berjalan secara otomatis, melainkan sebuah proses yang dinamis dan terpadu mengarah pada suatu tujuan tertentu (teleologis).
Periode ketiga adalah filsafat transendental. Schelling menjelaskan tentang bagaimana Aku atau Sang Ideal merealisasikan dirinya sebagai kehendak Aku atau Ideal menyadari akan dirinya sebagai kehendak karena suatu keharusan (sollen). Oleh karena kehendak itu diarahkan pada obyek yang ada di luar maka hasil kehendak itulah yang menimbulkan kemunculan dunia luar. Jika ada sesuatu yang berubah di dunia luar tersebut, karena kesatuan, maka ada perubahan juga yang terjadi dalam sang Aku.
Hukum alam dan hukum moral adalah identik di dalam tertib kosmik. Selanjutnya, pernyataan inilah yang mendasari pemikiran Schelling dalam Negara, hukum dan sejarah. Baginya, sejarah merupakan pernyataan berkesinambungan dari Yang Absolut yang selalu memanifestasikan diri-Nya. Dalam pengembangan filsafat transendental ini, selanjunya ia merambah ke dalam ranah filsafat seni yang dianggap sebagai filsafat wahyu (art as revelation). Seni merupakan sebuah hasil pengungkapan dari upaya yang dilakukan berdasarkan identitas antara yang nyata dan yang ideal dalam sebuah wujud kongkrit yang bertempat dalam intuisi yang estetis. Perbedaan filsafat seni dan filsafat transendental terletak pada anggapan sang Absolut yang dikatakan “mengalami dunia” dalam transendental dan dikatakan “menciptakan dunia” dalam filsafat seni. Seni merupakan sintesa antara alam dan kesadaran; sbuah kesadaran dalam diri seniman yang menyatakan diri sebagai intelegensi yang mencipta dunia. Karena itu Schelling menolak sebagian kalangan yang menyatakan bahwa metodologi Ilmu pengetahuan dan Matematika merupakan satu – satunya cara yang dapat digunakan untuk mencapai pengetahuan yang sebenarnya. Dengan kata lain, sumber pengetahuan adalah seni, dan bukan penelitian ilmiah.
Periode keempat adalah filsafat identitas (Identity Philosophy), yakni suatu sintesis antara pemikiran Kant di satu sisi, dan pemikiran Spinoza di sisi lain. Kant, dan nantinya juga Fichte, menekankan pentingnya peran subyek di dalam proses pembentukan pengetahuan. Semua kenyataan di luar diri manusia menjadi sesuatu yang terstruktur, karena subyek. Schelling berpendapat bahwa manusia dan Alam (Nature), atau dunia obyektif, merupakan satu Subyek. Artinya, manusia dan alam mempunyai satu kehendak, sehingga keduanya memiliki kebebasan. Oleh karena memiliki kebebasan, maka manusia dan Alam bisa memilih, apakah akan berbuat baik atau berbuat jahat. Subyek ini, yang merupakan sintesis antara manusia dan Alam, merupakan seluruh realitas. Di sini Schelling menyebutkan tentang “identitas absolut”, yaitu ketika alam telah mengenali dirinya kembali melalui refleksi. Dan lengkaplah sudah sistem ilmu pengetahuan.
Kemudian Schelling beranjak pada eksplanasi mengenai Aku-Absolut. Aku-Absolut, baginya, adalah sesuatu yang netral; bukan materi ataupun spirit, bukan subyek dan atau obyek. Dalam tindakannya, Roh-Absolut mempunyai tiga tahap yang berjalan serentak, yaitu (1) Eksternalisasi. Obyektifikasi dari absolute ke alam material. (2) Internalisasi. Alam memiliki subyektifitasnya sendiri yang kemudian dipresentasikan dalam pikiran manusia. (3) Unifikasi. Penyatuan antara absolut obyektif dan absolut subyektif. Tiga tindakan ini bergerak serentak dan terlepas dari ikatan waktu. Itulah yang disebut sebagai tindakan pengetahuan.
Pada periode empat, Schelling mengaku bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh mistikus Jacob Bohmean. Dan karena hal itu jugalah persahabatannya dengan Fichte berantakan. Pada periode ini, Schelling lebih mirip seorang nabi yang mewartakan‚ kabar gembira. Ia pun menyebut gaya berfilsafat seperti ini sebagai filsafat tentang mitologi dan
wahyu. Namun, banyak orang berpendapat bahwa filsafat Schelling periode keempat ini lebih merupakan suatu aliran kebatinan atau pengetahuan rahasia tentang Tuhan, tujuan manusia, dan arah sejarah.
Periode kelima, Scheling mengarahkan pemikirannya pada filsafat agama/ positif. Pada tahun 1804, ia menulis buku dengan judul Philosophie und Religion. Dalam buku tersebut ia menjelaskan bahwa agar pada hal yang obyektif, Sang Absolut harus member kuasa pada yang nyata agar yang nyata itu dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk – bentuk yang lebih khusus atau agar yang nyata menjadi absolut dengan caranya sendiri. Karena itulah manusia memiliki kehendak bebas menjadi sifat dasarnya. Dia bisa naik menjadi absolute atau turun ke yang relative sesuai pilihannya.
Kesimpulan
Mengkaji filsafat merupakan satu ilmu yang mempelajari mengenai proses memahami aktifitas – aktifitas manusia sedangkan filsafat itu sendiri adalah proses berfikir. Banyak cabang pemikiran di dalam filsafat, salah satunya adalah Idealisme. Idealisme adalah suatu aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami. Dalam perkembangannya, filsafat Idealisme memiliki beberapa tokoh besar yang berperan. Salah satunya adalah Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling.
Idealisme Schelling berkembang melalui lima periode, yaitu Idealisme subyektif yang merupakan pemikiran dari gurunya, Fichte; Filsafat alam; Idealisme transendental atau idealisme obyektif; Filsafat identitas; dan Filsafat positif. Berangkat dari penolakan Schelling terhadap idealisme Fichte yang mengunggulkan subyek di atas obyek, ia membangun filsafat alam. Dalam filsafat alam ini ia menyatakan bahwa alam adalah roh yang menampakkan diri sedangkan roh adalah alam yang menyembunyikan diri. Lalu materi adalah intelegensia yang tertidur, yang nantinya akan dibangunkan oleh sang ide yang menuntut jawaban dari keresahannya.
Filsafat transendentalnya menjelaskan tentang kesadaran sang Aku. Kesadaran tersebut muncul dalam kehendak yang berdasarkan keharusan. Setelah itu, maka dari kehendak terciptalah dunia luar (eksternalisasi). Kemudian, karena alam dan ide adalah satu, maka ketika ada perubahan yang terjadi di luar, sebenarnya terjadi juga perubahan di dalam. Transendental dikaitkan juga dengan filsafat seni/ wahyu, yaitu suatu hasil pengungkapan dari upaya yang dilakukan berdasarkan identitas antara yang nyata dan yang ideal dalam sebuah wujud kongkrit yag bertempat dalam intuisi yang estetis.
Dalam filsafat identitas, Schelling menyatakan bahwa pembatasan antara subyek dan obyek muncul dari refleksi berdasarkan perasaan. Dan ketika hal itu yang menjadi dasar pemikiran kita, kita akan tertipu. Jika dari refleksi lahir distingsi, maka dari refleksi jugalah harus lahir unifikasi (penyatuan). Penyatuan subyek dan obyek bisa didapat dari refleksi yang berdasarkan pada filsafat.
Terakhir, Schelling berbicara mengenai filsafat dan agama. Ia menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak sebagai potensi alaminya untuk memanifestasikan diri dalam hal – hal yang lebih khusus. Dalam pada itu, ia berusaha untuk memecahkan the problem of evil yang tak lain akan muncul dari jiwa yang lebih memilih relative ketimbang absolut.
Demikian adalah pemikiran – pemikiran yang dilahirkan oleh Schelling. Sintesa yang diupayakannya merupakan usaha yang patut dihargai dan ditelaah lebih lanjut oleh generasi – generasi penerusnya. Kendati di beberapa pemikiran Schelling telah – jauh sebelumnya dijelaskan oleh filosof muslim, namun upaya dan kontekstualisasinya dalam keadaan antropologis dan sosiologis yang berbeda sehingga implikasinya pun berbeda.
Daftar Pustaka
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Tafsir, Ahmad, FILSAFAT UMUM: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009