- Back to Home »
- Filsafat Islam »
- Al-Farabi
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
7 Jun 2014
Al-Farabi
Biografi
Al-Farabi, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ibn Muhammad IbnTarkhan
ibn Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik Farab (sekarang dikenal dengan
kota Atrar/Transoxiana). Turkistan pada tahun 257 H /870 M. Ayahnya
seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.
Ia dikenal dikalangan Latin Abad Tengah dengan sebutan Abu Nashr
(Abunaser), sedangkan sebutan nama al-Farabi diambil dari nama kota
Farab, tempat ia dilahirkan. Al-Farabi mempunyai sebutan layaknya
sebutan nama bagi orang-orang Turki, ini dikarenakan ibunya bersal dari
negara Turki.
Sejak kecil al-Farabi sudah tekun dan rajin belajar, apalagi dalam
mempelajari bahasa, kosa kata, dan tutur bahasa ia telah cakap dan luar
biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdikistan sangat
ia pahami. Malah sebaliknya, bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa
ilmu pengetahuan pada waktu itu tidak ia kuasai. Ada sebuah pendapat
yang mengatakan bahwa Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam
bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif hanya empat bahasa; Arab,
Persia, Turki, dan Kurdi.
Menurut literatur, al-Farabi dalam usia 40 tahun pergi ke Baghdad,
sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia di kala itu. Ia
belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakar al-Saraj dab belajar
logika serta filsafat kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibnu
Yunus. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia
kecil dan berguru kepada Yuhanna ibnu Jailani. Tetapi tidak berapa lama
di Harran, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam ilmu filsafat. Selama
di Baghdad ia banyak menggunakan waktunya untuk berdiskusi, mengajar,
mengarang, dan mengulas buku-buku filsafat. Dalam dunia intelektual
Islam ia mendapat kehormatan dengan julukan al-Mu’allim al-Sany (guru
kedua), sedangkan yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles yang
menyandang delar al-Mu’allim al-Awwal (guru pertama), selain itu
al-Farabi juga meyandang predikat al-Syaikh al-Rais (Kiyai Utama),
gelar-gelar ini didapatkan karena ia banyak memamhami filsafat
Aristoteles.
Sebagai seorang filosof yang ternama, dalam hidupnya ia dikenal seorang
yang tidak berkecimpung di dunia politik pemerintahan. Atas dasar inilah
ia mendapatkan sebuah kebebasan dalam mengeluarkan pemikirannya yang
tidak terikat dengan dogma-dogma yang berbau politik di kala itu. Satu
sisi menguntungkan dirinya, tetapi kalau dilihat dari segi pemerintahan
maka ia juga rugi karena kurangnya pengalaman dalam mengelola urusan
kenegaraan, juga untuk menguji teori-teorinya terhadap kenyataan politik
di kala itu.
2. Karya-karyanya
Di antara pemikiran al-Farabi dituliskan menjadi sebuah karya, namun
ciri khas karyanya al-Farabi bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau
makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan
terhadap karya Aristoteles, Iskandar Al-Dfraudismy dan Plotinus. Di
antara ulasan al-Farabi terhadap karya-karya mereka adalah sebagai
berikut:
a. Ulasannya terhadap karya Aristoteles
1. Burhan (dalil),
2. Ibarat (keterangan),
3. Khitobah (cara berpidato),
4. Al-Jadal (argumentasi/berdebat),
5. Qiyas (analogi),
6. Mantiq (logika)
b. Ulasannya terhadap karya Plotinus ”Kitab al-Majesti fi-Ihnil Falaq”,
c. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang ”Maqalah Fin-nafsi”.
Sedangkan karya-karya nyata dari al-Farabi lainnya :
a. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al Hahiy wa
Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan
Aristoteles),
b. Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan),
c. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan),
d. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran),
e. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan),
f. As Syiasyah (ilmu politik),
g. Fi Ma’ani Al Aqli,
h. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu),
i. At Tangibu ala As Sa’adah
j. Isbatu Al Mufaraqat,
k. Al Ta’liqat.
3. Pemikirannya
a. Filsafat Emanasi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari
teori Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat
yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang
pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar
yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang
pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya, timbullah
suatu hakikat yang bertolak keluar. Hakikat ini sama seperti form
(surat) sesuatu, di mana sesuatu itu, keluar darinya.
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana
yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak
berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan
tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana
terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut
al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia
menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam)
yang bersifat materi dari Yang Maha Esa (Allah) jauh dari arti materi
dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam,
melainkan Penggerak Pertama (prime cause), ini telah dikemukakan oleh
Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah
adalah pencipta (Shani, Agent), yang menciptakan dari tiada menjadi ada
(cretio ex nihilo). Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba
untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat
doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan
yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang
menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam
arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari
energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah
baharu. Sebab itu, meneurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang
termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada
La syai’ (nihil).
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu
hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin
ayat 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan
dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud
pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud
kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal
pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud
kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul
wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal),
b. Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang),
c. Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus,
d. Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter,
e. Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars,
f. Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari,
g. Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus,
h. Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius,
i. Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.
Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal
Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari
Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi
dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan
sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah
sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula,
kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar
dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)?
Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh.
Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang
terjauhdan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada
sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang
sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan
mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan,
yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu
zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek
pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama
dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud
yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan seterusnya.
b. Filsafat Metafisika
Mengenai pembicaraan filsafat metafisika ini, seperti para filosof
lainnya, yakni membahas tentang masalah ke-Tuhanan. Al-Farabi membagi
ilmu Ketuhanan menjadi 3 (tiga) yaitu: pertama, membahas semua wujud dan
hal-hal yang terjadi padanya sebagai wujud. Kedua, membahas
prinsip-prinsip burhan dalam ilmu-ilmu teori juz’iyat (paticulars),
yaitu ilmu yang berdiri sendiri karena penelitiannya tentang Wujud
tertentu. Ketiga, membahas semua Wujud yang tidak berupa benda-benda
ataupun berada dalam benda-benda itu? Kemudian terlebih dahulu dibahas
apakah Wujud serupa itu ada atau tidak, kemudian dibuktikan dengan
burhan bahwa Wujud serupa itu ada. Apakah Wujud serupa itu sedikit atau
banyak? Apakah Wujud serupa itu berketerbatasan atau tidak? kemudian
dibuktikan dengan burhan bahwa keterbatasan.
Al-Farabi ketika menjelaskan Metafisika (ke-Tuhanan), menggunakan
pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme. Ia berpendapat bahwa al-Maujud
al-Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam pemikiran
adanya Tuhan, al-Farabi mengemukakan dalil Wajib al-Wujud dan Mumkin
al-Wujud. Menurutnya, segala yang ada ini hanya memiliki dua kemungkinan
dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib al-Wujud adalah wujudnya
tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah
sama dan satu. Ia adalah Wujud yang sempurna selamanya dan tidak
didahului oleh tiada. Jika Wujud itu tidak ada, akan timbul
kemustahilan karena Wujud lain untuk adanya bergantung kepadanya. Inilah
yang disebut dengan Tuhan. Adapun mumkin al-Wujud tidak akan berubah
menjadi Wujud Aktual tanpa adanya Wujud yang menguatkan, dan yang
menguatkan itu bukan dirinya, tetapi Wajib al-Wujud. Walaupun demikian,
mustahil terjadi daur dan tasalsul (processus in infinitum) karena
rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib al-Wujud.
c. Filsafat ke-Nabian
Filsafat ke-Nabian dalam pemikiran al-Farabi erat hubungannya pada
agama. Agama yang dimaksud adalah agama Samawi (langit). Dalam agama
Islam Nabi adalah manusia seperti manusia lainnya. Akan tetapi Nabi
diberi kelebihan oleh Allah akan kemuliaan berupa mukjizat yang tidak
dimiliki oleh manusia lainnya. Maka dalam agama Islam, seorang Nabi
adalah utusan Allah yang mengemban tugas keagamaan. Nabi adalah utusan
Allah yang diberikan Al-Kitab yang dipandang sebagai Wahyu Ilahi. Oleh
sebab itu, apa yang diucapkan oleh Nabi yang berasal dari Allah adalah
wahyu, dengan ucapan yang tidak keluar dari nafsunya sendiri. Allah
berfirman pada Surat an-An-Najm ayat 3-5 :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى * عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
”Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”
Salah satu filsafat al-Farabi ini menjelaskan eksistensi para Nabi yang
mempunyai jiwa besar, dan membawa pencerahan-pencerahan serta mempunyai
kesanggupan untuk berkomunikasi dengan akal fa’al. Sebab lahirnya
filsafat ke-Nabian ini disebabkan adanya pengingkaran terhadap
eksistensi ke-Nabian secara filosofis oleh Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi.
Ia adalah seorang tokoh yahudi yang membuat karya-karya tentang
keingkaran kepada Nabi, dan umumnya pada nabi Muhammad SAW. Di antara
kritikan yang di gambarkan olehnya adalah: pertama, Nabi sebenarnya
tidak diperlukan manusia karena Tuhan telah mengaruniakan manusia akal
tanpa terkecuali. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan beserta segala
nikmat-Nya dan dapat pula mengetahui perbuatan baik dan buruk, menerima
suruhan dan larangan-Nya. Kedua, ajaran agama meracuni prinsip akal.
Secara logika tidak ada bedanya Thawaf di Ka’bah, dan sa’i di bukit Safa
dan Marwa dengan tempat-tempat lainnya. Ketiga, mukjizat hanya semacam
cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat
menerima batu bisa bertasbih dan srigala bisa berbicara. Kalau sekiranya
Allah membantu umat Islam dalam perang Badar dan mengapa dalam perang
Uhud tidak. Keempat, al-Qur’an bukanlah mukjizat dan bukan persoalan
yang luar biasa. Orang yang non-Arab jelas saja heran dengan balaghah
al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan
Muhammad adalah Khalifah yang paling Fasahah dikalangan orang Arab.
Selanjutnya pendapat Ahmad Ibnu Ishaq Al-Ruwandi, daripada membaca kitab
suci, lebih berguna membaca buku filsafat Epicurus, Plato, Aristoteles,
dan buku Astronomi, logika dan obat-obatan menurutnya.
Pendapat yang telah diungkapkannya adalah pendapat yang sangat
bertentangan dengan al-Qur’an Surat An-Najm ayat 3-5 tersebut. Dalam
ajaran Islam, al-Qur’an adalah Wahyu Ilahi yang merupakan sumber
inspirasi yang benar, dapat diterima akal, dipercaya melalui keyakinan,
dan sumber pedoman hidup manusia. Siapa yang mengingkari Wahyu berarti
ia telah menolak Islam secara keseluruhannya. Bahkan perbuatan ini
dipandang sebuah pelanggaran dalam kehidupan. Dalam al-Qur’an ada
dijelaskan:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
”Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka.” (Q.S. al-Baqarah: 2-3)
Nabi adalah utusan Allah yang diberikan mukjizat berupa Wahyu Ilahi,
maka dari itu ”ciri khas seorang Nabi menurut al-Farabi ialah mempunyai
daya imajinasi yang kuat dan ketika berhubungan dengan Akal Fa’al dapat
menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk Wahyu. Wahyu tidak
lain adalah limpahan dari Allah melalui Akal Fa’al (akal kesepuluh) yang
dalam penjelasan al-farabi adalah Jibril. Sementara itu, filosof dapat
berkomunikasi dengan Allah melalui akal perolehan yang telah terlatih
dan kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang
bersifat abstrak murni dari Akal kesepuluh.”
Pendapat al-Farabi di atas menunjukkan bahwa antara filosof dan Nabi ada
kesamaan. Oleh karenanya, kebenaran Wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan filsafat, akan tetapi jika hanya mempelajari filsafat semata
tanpa mempelajari Wahyu (al-Qur’an) ia akan tersesat, karena antara
keduanya sama-sama mendapatkan dari sumber yang sama, yakni Akal Fa’al
(Jibril). Begitu pula mengenai mukjizat yang menjadi bukti ke-Nabian,
pendapat al-Farabi, mukjizat merupakan sebuah kebenaran dari hukum alam
karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal
Mustafad.
Kalau dilihat dari segi kejiwaan atau imajinasi, Nabi mempunyai potensi
untuk berhubungan dengan Akal Fa’al, baik kondisinya dalam keadaan
terjaga maupun tertidur. Mukjizat itu tetap diterimanya karena pada
hakikatnya Wahyu bukanlah sebuah argumen dari Nabi ataupun karangan
sebuah cerita dan kebohongan yang di buat oleh Nabi. Wahyu berisikan
firman-firman Allah, datangnya langsung dari Allah, melalui perantara
Jibril, dan melalui tabir mimpi. Inilah sebuah potensi para Nabi yang
tidak dimiliki oleh manusia lainnya. Ada sebagian manusia yang mempunyai
imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa
berhubungan dengan Akal Fa’al, tetapi terkadang mereka mengalaminya
ketika tidur, mereka ini di sebut para Auliya. Ada lagi lebih ke bawah
yakni, manusia yang awam, maka imajinasinya sangat lemah sekali sehingga
tidak bisa berhubungan dengan Akal Fa’al, baik waktu tidur ataupun
terbangun.
Penjelasan di atas adalah sebagian dari teori ke-Nabian al-Farabi yang
telah ia capai dari hasil realitas serta dihubungkan dengan keadaan
sosial dan kejiwaan. Menurutnya, Nabi dan filosof adalah dua sosok
pribadi shaleh yang akan memimpin sebuah kehidupan masyarakat di sebuah
Negeri, karena keduanya dapat berhubungan dengan Akal Fa’al yang menjadi
sumber syari’at dan aturan yang diperlukan bagi kehidupan Negeri.
Perbedaan antara Nabi dengan filosof adalah, jikalau Nabi meraih
hubungan dengan Akal Fa’al melalui imajinasinya, sedangkan filosof
melalui jalur studi dan analisa kejiwaan.
Dalam sebuah analisa al-Farabi, ada sebuah kritik yang dikemukakan A.
Hanafi, yang termuat dalam buku Filsafat Islam, yakni: pertama, teori
al-Farabi telah menempatkan Nabi di bawah filosof karena pengetahuan
yang diperoleh melalui pikiran lebih tinggi dari pada yang diperoleh
melalui imajinasinya. Akan tetapi nampaknya al-Farabi tidak menganggap
penting terhadap perbedaan tersebut, sebab selama sumbernya sama, yaitu
Akal Fa’al, dan nilai keluarnya juga sama, maka tentang cara
memperolehnya tidak menjadi sebuah persoalan. Dengan perkataan lain,
nilai suatu kebenaran tidak bergantung pada cara memperolehnya,
melainkan keppada sumbernya. Selain itu dalam bukunya tersebut ia
mengatakan; seorang Nabi dapat naik ke alam atas melalui pikiran, karena
ada pikiran ada kekuatan suci yang memungkinkannya naik ke alam cahaya,
tempat menerima perintah-perintah Tuhan. Jadi, Nabi memperoleh Wahyu
bukan hanya melalui imajinasinya saja, tetapi melalui kekuatan
pikirannya yang besar.
Kedua, apabila seoarang Nabi dapat berhubungan dengan Akal Fa’al melalui
pemikiran dan renungan, maka artinya ke-Nabian menjadi semacam ilmu
pengetahuan yang bisa dicapai oleh setiap orang, atau menjadi perkara
yang bisa dicari (muktasab), sedangkan menurut Ahlusunnah, ke-Nabian
bukanlah sifat-sifat (keadaan) yang berasal dari diri Nabi, bukan pula
tingkatan yang bis a dicapai seseorang melalui ilmu dan usahanya, juga
bukanlah kesediaan psikologis yang memungkinkan dapat berhubungan dengan
alam rohani, melainkan suatu kasih sayang yang diberikan oleh Tuhan
kepada orang yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi sekiranya perlu dicatat
bahwa al-Farabi berkata; filsafat itu tidak mudah diperoleh, sebab
setiap orang bi sa berfilsafat, akan tetapi yang bisa mencapai filsafat
yang sebenarnya hanyalah sedikit saja. Al-Farabi juga menetapkan bahwa
seorang Nabi mempunyai imajinasi yang luar biasa atau kekuatan rahasia
tertentu. Boleh jadi menurut pendapatnya, imajinasi dan kekuatan
tersebut bersifat Fitrah (mempunyai potensi dari sejak lahir), bukan
yang bisa dicari, meskipun ia tidak jelas-jelas mengatakan demikian.
Ketiga, kalau sekiranya al-Farabi dapat terlepas dari kedua kritik
tersebut di atas, maka sukarlah ia terlepas dari kritik ketiga, yaitu
bahwa tafsiran psikologis terhadap Wahyu banyak berlawanan dengan
nas-nas agama, di mana Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad SAW
dalam bentuk manusia biasa kadang terdengar oleh Nabi seperti bunyi
lonceng.
Inilah teori ke-Nabian yang telah dicapainya, kemudian ia hubungkan
dengan persoalan-persoalan sosial dan kejiwaan. Akhirnya ia membuat
sebuah kesimpulan bahwa Nabi adalah seorang yang mempunyai pribadi
shaleh dan mempunyai jiwa untuk memimpin sebuah negeri.
d. Filsafat Politik
Al-Farabi, selain ia seorang filosof muslim dan membuat karya-karya, ia
juga menyibukkan dirinya untuk ikut berpartisipasi mengurus ke-Negaraan
dengan kata lain ia ikut berkecimpung dalam dunia politik. Sama halnya
dengan para filosof muslim lainnya, untuk membentuk sebuah negara yang
baik, maka para filosof berusaha menuangkan pikirannya, dan terkadang
pemikiran itu disentuh dengan nilai-nilai politik semata.
Dalam persoalan filsafat ke-Negaraan ini, filsafat al-Farabi lebih
mengarah kepada filsafat Plato, Aristotoles dan Ibnu Abi Rabi’, al-
Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat. Hal ini dikarenakan
manusia tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan
atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat itu
menurutnya, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup,
tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan
kepada manusia akan sebuah kebahagiaan, tidak saja materil tetapi juga
sprituil, tidak saja di dunia yang fana ini, tetapi juga di akhirat
nanti. Pendapatnya ini menyangkut tujuan hidup beragama sebagai
seorang muslim di masyarakat.
Al-Farabi mengklarifikasikan masyarakat ke dalam dua golongan masyarakat, yakni:
i. Masyarakat Sempurna (al-Mujtami’
al-Kamilah). Masyarakat sempurna adalah masyarakat yang mengandung
keseimbangan di antara unsur-unsurnya. Perbedaan hanyalah kalau
unsur-unsur masyarakat itu mempunyai kebebasan individual yang lebih
besar, maka dalam diri manusia unsur-unsurnya itu lebih dikuasai dan
diperintah oleh pusatanya. Selanjutnya, masyarakat yang sempurna,
diklasifikasikan menjadi tiga bahagian, pertama masyarakat sempurna
besar (gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling
membantu serta bekerjasama, biasa disebut perserikatan bangsa-bangsa),
kedua masyarakat sempurna sedang (masyarakat yang terdiri atas suatu
bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi biasa disebut negara
nasional), ketiga masyarakat sempurna kecil (masyarakat yang terdiri
atas para penghuni satu kota (negara kota).
ii. Masyarakat Tidak/belum Sempurna
(al-Mujatami’ laisa Kamilah). Masyarakat yang tidak/belum sempurna
adalah masyarakat yang kehidupannya kecil seperti masyarakat yang
penghidupan sosialnya di tingkat desa, kampung, lorong/dusun, dan
keluarga. Dalam hal ini, yang kehidupan masyarakat masih jauh dari
ketidak sempurnaan adalah keluarga.
Menurut al-Farabi, sebuah Negara yang utama adalah, kategori yang
pertama, yaitu masyarakat yang sempurna (al-Mujtami’ al-Hikmah), yang
mana jumlah keseluruhan bahagian-bahagiannya sudah lengkap, diibaratkan
seperti satu anggota tubuh manusia yang lengkap. Jika salah satu organ
tubuh sakit, maka tubuh yang lain akan merasakannya. Demikian pula
anggota masyarakat Negara yang Utama, yang terdiri dari warga yang
berbeda kemampuan dan fungsinya, hidup saling membantu atau dengan kata
lain senasib dan sepenanggungan. Masing-masing mereka harus diberikan
pekerjaan yang sesuai dengan kdan spesialisasi mereka. Fungsi utama
dalam filsafat politik atau pemerintahan al-Farabi ini adalah fungsi
kepala Negara yang serupa dengan fungsi jantung (al-qalb) di dalam tubuh
manusia. Kepala negara dalam filsafat politik atau pemerintahan
al-Farabi ini adalah fungsi kepala Negara yang serupa dengan fungsi
jantung (al-qalb) di dalam tubuh manusia. Kepala negara merupakan sumber
seluruh aktivitas, sumber peraturan, berani, kuat, cerdas, pecinta
pengetahuan serta keadilan, dan memiliki akal mustafad yang dapat
berkomunikasi dengan Akal kesepuluh, pengatur bumi, dan penyampai
Wahyu.
Menurut al-Farabi, Negara mempunyai warga-warga dengan bakat dan
kemampuan yang tidak sama satu sama lain. Di antara mereka terdapat
seorang kepala dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat
kepala, dan masing-masing memiliki bakat dan keahlian untuk melaksanakan
tugas-tugas yang mendukung kebijakan Kepala Negara (sebagai sebuah
jabatan). Kemudian dari Kepala Negara, membagi tugasnya kepada
sekelompok masyarakat di bawah peringkatnya, kemudian di bawah peringkat
tersebut, ada sekelompok orang lagi yang bertanggung jawab untuk
kesejahteraan Negara dan begitu seterusnya sampai golongan terendah.
Meskipun begitu, al-Farabi tidak pernah memangku jabatan resmi dalam
satu pemerintahan, bukan berarti pemikiran filsafat yang ia kemukakan
ini bersifat khayalan semata. Perlu dipahami bahwa seorang filosof belum
akan merasa puas dalam membicarakan sesuatu sebelum sampai pada
hakikatnya, yakni dasar segala dasar. Maka sama halnya dengan filsafat
pemerintahan ini, ia maksudkan bukan sekedar berfilsafat atau teori
untuk teori, melainkan pada hakikatnya adalah agar manusia hidup dalam
satu pemerintahan dapat mencapai kebahagiaan dunia hingga akhirat. Atas
dasar ini pula, Fakhuri berkesimpulan bahwa tujuan utama filsafat
pemerintahan al-Farabi adalah untuk kebahagiaan hidup manusia.
Al-Farbi juga berpandangan, yang paling ideal sebagai Kepala Negara
adalah Nabi/Rasul atau filosofis. Selain tugasnya mengatur Negara, juga
sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang
dipimpinnya. Kalau tidak ada sifat-sifat Kepala Negara yang ideal inilah
pimpinan Negara diserahkan kepada seorang yang memiliki sifat-sifat
yang dekat dengan sifat-sifat yang dimiliki Kepala Negara ideal.
Sekiranya sifat-sifat dimaksud tidak pula terdapat pada seseorang,
tetapi terdapat dalam diri beberapa orang, maka Negara harus diserahkan
kepada mereka dan mereka secara bersama harus bersatu memimpin
masyarakat.
Maka dari itu, Negara yang baik diibaratkan bagaikan orang yang sehat
karena pertumbuhan dan perkembangannya teratur di antara satu unsur
dengan unsur lainnya, sedangkan Negara yang buruk adalah ibarat orang
yang sakit karena kurangnya pertumbuhan dan perkembangan yang teratur di
Negara itu. Negara yang buruk tersebut banyak macamnya, misalnya Negera
yang fasik, Negara yang bodoh, atau Negara yang sesat. Dalam hal ini,
al-Farabi menunjukkan sebuah tamsilan Negara yang bodoh, ia membagi
menjadi lima macam: pertama, Negeri Darurat (daruriah), yaitu Negera
yang penduduknya memperoleh minuman dari kebutuhan hidup, makan, minum,
pakaian, dan tempat tinggal. Kedua, Negeri Kapitalis (baddalah), yaitu
Negara yang penduduknya mementingkan kekayaan harta dan benda. Ketiga,
Negeri Gila Hormat (kurama), yaitub Negara yang penduduknya mementingkan
kehormatan saja. Ketiga, Negeri Hawa Nafsu (khissah wa Syahwah), yaitu
Negara yang penduduknya mementingkan kekejian dan berfoya-foya. Keempat,
Negeri Anarkis (jami’iah), yaitu Negara yang setiap penduduknya ingin
merdeka melakukan keinginan masing-masing.