- Back to Home »
- Filsafat Islam »
- Ibnu Sina
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
7 Jun 2014
Ibnu Sina
Biografi Ibnu Sina
Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Biografi Ibnu Sina
Nama lengkapnya
Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di
desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (±980M).
Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh
ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu wilayah
di kota bukharah.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa
sehingga di usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar
sastra arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles setelah di
bacanya empat puluh kali, kendatipun ia baru memahaminya setelah membaca ulasan Al-Farabi.
1)
Ilmu ilmu agama
Dimulainya belajar Qur’an pada tahun 375 H, sewaktu umur baru 5 tahun.
Kemudian terus mempelajari ilmu-ilmu islam yamg lainnya seperti tafsir, fikih,
ushuluddin, tasawuf dan lainnya.
2)
Ilmu-ilmu filsafat
Setelah umurnya mencapai 10 tahun dia sudah menguasai ilmu-ilmu agama,
ayahnya mulai menyuruhnya belajar ilmu falsafah dengan segala cabangnya. Dia di
suruh belajar kepada saudagar rempah-rempah untuk mempelajari ilmu hitung
india.
3)
Ilmu politik
Tidak kurang pentingnya untuk diketahui, bahwa ilmu politik sudah
diperkenalkan kepada ibnu sina pada umur mudanya. Ayahnya adalah tokoh
terkemuka dari aliran “isma’iliyah” dari partai syi’ah. Pada waktu itu pemimpin
propogandis aliran tersebut yang berpusat di mesir di bawah pimpinan Fathimiyah, sering kali berkunjung
dan berunding dengan ayahnya, untuk meluaska sayap partai itu ke daerah
bukhara. Ibnu sina selalu disuruh duduk mendengarkan segala uraian politik
mereka. Saudaranaya Abdul harist mengikuti aliran ayahnya, menjadi pengikut
yang setia dari partai isma’iliyah, tetapi ibnu sina tidak pernah tertarik
dengan aliran itu.
4)
Ilmu kedokteran
Di dalam tingkat terakhir, Ibnu Sina tertarik
kepada ilmu kedokteran. Dia mempelajari ilmu itu sewaktu umurnya 16 tahun, dan dalam waktu 18 bulan (1½ tahun) selesailah ilmu itu ia kuasainya.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan
Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali
kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat
pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat,
kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan
tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja
membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu.
Karya-Karya Ibnu Sina
Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya cemerlang, dan tidak heran
kalau ia menghasilkan 267 karangan di antara karangan nya yang terpenting
adalah:
1)
Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan),
ensiklopedi yang ter diri dari 18 jilid mengenai fisika, metafisika dan
matematika. Kitab ini di tulis ketika menjadi mentri di Syams al-Daulah dan
selesai masa ala’u al-Daulah di isfahan.
2)
Al- Najah, latinnya salus (penyelamat),
keringkasan dari as-Syifa’.
3)
Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan
hikmah.
4)
Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan
dalam bahasa Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa
sampai abad XVII
5)
Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6)
Hidayah al-Rais li al- Amir
7)
Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8)
Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur)
Berkaitan dengan metafisika, Ibnu Sina juga membicarakan sifat wujudiyah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain,
walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal,
sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar
artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan
kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat
wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau
dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a)
Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini
disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (mamnu’ul wujud/impossible being).
Contohnya, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b)
Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud.
Yang serupa ini disebut mumkin yaitu
sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (mumkinul wujud/ contingent being). Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c)
Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi
tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di
sini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud,
sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan
wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (waibul wujud/ necessary being) yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al
wujud.
Dengan demikian, tuhan adalah unik dalam arti Dia adalah Kemaujudan yang
Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan tuhan.
Kemaujudan yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan
ini tak boleh terdapat kelipata sifat-sifat Nya. Tetapi tuhan mempunyai esensi
lain, tak ada antribut antribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada.
Ini dinyataka Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi tuhan identik dengan
keberadaan Nya yang mesti itu. Karena tuhan tidak berensensi maka Dia
mutlak sederhana dan tak dapat di
definisikan.
Ibn Sina adalah penganut faham emanasi Ia berpendapat bahwa dari
tuhan memancar akal pertama. Sekalipun tuhan terdahlu dari segi zat, namun
tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Selajutnya ibn Sina berpendapat,
berbeda dengan al farabi, bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wjib
wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau
dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ia mempunyai tiga objek pemikiran:
a)
Tuhan, Dari pemikiran tentang tuhan timbul akal-akal
b)
Dirinya sebagai wajib wujudnya, Dari pemikiran ini timbul
jiwa-jiwa
c)
Dirinya sebagai mungkin wujudnya, Dari pemikiran ini
timbul langit-langit
Untukmembuktikan
adanya jiwa Ibn Sina
mengajukan beberapa Argumen yakni:
a)
Argumen Psikofisik
Untuk pembuktian ini Ibn sina mengatakan bahwa
gerak dapat di bedakan kepada gerak terpaksa, yakni gerak yang didorong
unsur luar. Dan gerak tidak terpaksa . gerak yang tidak terpaksa ada
kalanya terjadi karena hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas kebawah, ada
juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit bumi ini.
Menurut hukumm alam manusia harus diam di tempat karena mempunayi berat badan
sama dengan benda padat. Gerak di luar hukum alam ini tentu terdapat unsur tertentu diluar tubuh
itu sendiri.
b)
Argumen “Aku” dan
kesatuan fenomena
psikologis.
Untuk membuktikan argumen ini, Ibn Sina
membedakan aku sebagai jiwa, dan badan sebagai alat. Ketika seseorang
mengatakan aku akan tidur, maksudnya bukan ia akan pergi ke tempat tidur atau
memejamkan mata dan tidak menggerakkan badan,
tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku menurut pandangan
Ibn Sina adalah bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya.
c)
Argumen kelangsungan
(kontinuitas).
Menurut Ibn Sina hidup rohaniah kita hari ini
berkaitan dengan hidup kita yang kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi
hidup adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus.
d) Argumen manusia terbang di udara
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas
menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan
dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan.
Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang
mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup
matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya
kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak
merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota –
anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling
bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak
akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan
wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran
sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang
tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi).
Kalau pada saat tersebut ia
mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka
penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan
seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan
yaitu jiwa.
Akal manusia
terdiri empat macam yaitu akal materil, akal
intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut
tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan
menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu
Sina diberi nama al hads yaitu
intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga
tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan
dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini
mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia
dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu
dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi
orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol.
Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan
wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang
memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan
maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu,
nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi –
memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
Mengenai tasawuf, menurut ibnu sina tidak dimulai dengan zuhud, beribah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari akal
fa’al. Dalam pemahaman ibnu sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan
ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya
terletak kepada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya tuhan dengan manusia atau bertempatnya tuhan di hati
manusia tidak diterima oleh ibnu sina, karena manusia tidak bisa langsung
kepada tuhannya, tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian tuhan. Ia
berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan
antara manusia dengan tuhan saja. Karena manusia mendapat sebagian pancaran
dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari
allah, tetapi melalui akal fa’al.
Berkaitan dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk
dengan penciptanya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan
sesuatau menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai
dengan sebab ini. mutakallimun berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai
akibat dari atau hasil dari tuhan yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama
dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaankepada wujud dan
lain – lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak
ada, kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi
wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan berbeda dengan pembuatan
sebuah rumah oleh arsitek :
a.
Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam
selamanya perlu wakil.
Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b.
Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan perkataan lain, sebab mendahului perbuatan dalam
segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah sebab yang efisien dari
alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun
bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang
sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata : “kehendak adalah
unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak dan
bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah sama”. Dalam
bagian ini ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk
terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi
sebab dari penciptanya. Setiap unsure ditemani kehendak batin yang senantiasa
kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian ini menjadi bentuk
filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak gambaran tuhan
sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari pendiriannya tentang
Tuhan Maha Mengatur.
Diterangkan dalam kitab
Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam semesta, dalam
pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan dalam
bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut
menyebabkan orang dapat melihat bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat
Maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan
memberikan uraiannya bahwa antara baik dan buruk, baiklah yang akan menang.
Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk
adalah baik dan kesempurnaan makhluk itu adalah terdapat dalam segala makhluk.
Karena segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari tuhan. Sebab tuhan itu
mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan menjelma dalam setiap yang
dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan
tentang pengertian benda itu sebagai seorang perempuan yang tidak cantik yang
memakai topeng sehingga dia tampak cantik sekedar untuk menutupi
ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat terpisah dari topeng
tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula
merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah
sebab akhir dari makhluk yang mencoba memperoleh kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta
adalah sebaik – baik undang makhluk, dan dunia kita adalah sebaik – baik alam
yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia ini tersusun dari
kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk, potensi dan
hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan lebih sedikit daripada
kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan itu bersifat positif.
Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan
manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada dalam kejahatan
tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas, akan tetapi
tuhan memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki yang turun
dari tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah
menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :
a.
Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada
diluar
alam.
b.
Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala yang
tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih
besar di langit dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang –
terangnya bukti” (Surat 34/4)
c.
Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan adalah
prinsip pertama, Yang
Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan , sebab dengan
meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang rangkap yaitu
tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu
sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia tahu bahwa
Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar
daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang
kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu
berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
Menurut ibnu sina akal
merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu :
akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri
untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua
pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham
ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran)
membawa alam semesta ini
kedalam bentuk – bentuk. Rumusan ibnu sina diambil alih oleh seorang pendeta
Dominican Albertus Magnus (1206 - 1280) yang dikemukakan di dunia barat.