- Back to Home »
- Filsafat Abad Modern »
- John Locke
Posted by : Fitrah Ali Yusuf Abdillah
26 May 2014
John Locke
Biografi John Locke
Biografi John Locke
Locke dilahirkan tahun 1632 di Wrington, Inggris. Dia memperoleh pendidikan di Universitas Oxford, peroleh gelar sarjana muda tahun 1656 dan gelar sarjana penuh tahun 1658. Selaku remaja dia tertarik sangat pada ilmu pengetahuan dan di umur tiga puluh enam tahun dia terpilih jadi anggota "Royal Society." Dia menjadi sahabat kental ahli kimia terkenal Robert Boyle dan kemudian hampir
sepanjang hidupnya jadi teman dekat Isaac Newton. Kepada bidang kedokteran pun dia tertarik dan meraih gelar sarjana muda di bidang itu meskipun cuma sekali-sekali saja berpraktek.
John Locke hidup setengah abad lebih muda daripada Hobbes dan kuliah di Universitas yang sama dengan Hobbes. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa Locke merasa hidup di tengah-tengah kekuasaan kerajaan despotik. Locke mendapat pengaruh dari semangat libe ralisme yang sedang bergelora di Eropa pada waktu itu dan bahwa Locke mempunyai ika tan karier dan politik dengan kalangan parlemen yang sedang bersaing dengan kerajaan, sehingga Locke cenderung memihak parelemen dan menentang kekuasaan raja. Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya.
PEMIKIRAN
Akan tetapi berbeda dari Hobbes, dalam bukunya Two Treaties of Gobernment, Lock menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes.
Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama. Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal.
Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau.
Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh.
Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu, yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan (the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hak-hak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Titik balik dalam kehidupan Locke adalah perkenalannya dengan Pangeran Shaftesbury. Dia jadi sekretarisnya dan menjadi dokter keluarga. Shaftesbury seorang jurubicara penting bagi pikiran liberal sehingga walau sebentar pernah dia dipenjara oleh Raja Charles II akibat kegiatan politiknya. Tahun 1682 Shaftesbury lari ke Negeri Belanda dan mati disana tahun berikutnya. Locke, berkat hubungannya yang begitu akrab dengan mendiang, senantiasa diawasi dan dibayang-bayangi, karena itu memaksanya juga lari ke Negeri Belanda tahun 1683. Dia menetap di negeri itu sampai pengganti Raja Charles, Raja James II digulingkan oleh sebuah revolusi yang berhasil Locke pulang ke kampungnya tahun 1689 dan seterusnya menetap di Inggris. Tak pernah sekalipun kawin, dan mati di tahun 1704.
Buku pertama yang membikin Locke masyhur adalah An Essay Concerning Human Understanding (Esai tentang saling pengertian manusia), terbit tahun 1690. Di situ dipersoalkan asal-usul, hakikat, dan keterbatasan pengetahuan manusia. Ide-ide Locke pada gilirannya mempengaruhi filosof-filosof seperti Pendeta George Berkeley, David Hume dan Immanuel Kant. Kendati esai itu hasil karya Locke yang paling orisinal dan merupakan salah satu dari filosofi klasik yang masyhur, pengaruhnya tidaklah sebesar tulisan-tulisan dalam buku A Letter Concerning Toleration (Masalah yang berkaitan dengan toleransi) yang terbit tahun 1689, Locke menekankan bahwa negara jangan ikut campur terlampau banyak dalam hal kebebasan menjalankan ibadah menurut kepercayaan agama masing-masing.
Locke bukanlah orang Inggris pertama yang mengusulkan adanya toleransi agama dari semua sekte Protestan. Tetapi argumennya yang kuat yang dilontarkannya, yang berpihak kepada perlunya ada toleransi merupakan faktor dukungan penduduk terhadap sikap pandangannya. Lebih dari itu, Locke mengembangkan prinsip toleransinya kepada golongan non-Kristen: "baik penganut kepercayaan primitif, atau Islam maupun Yahudi tidak boleh dikurangi hak-hak sipilnya dalam negara semata-mata atas pertimbangan agama." Tetapi, Locke percaya bahwa toleransi ini tidak berlaku bagi golongan Katolik karena Locke yakin mereka tergantung pada bantuan kekuatan luar, dan juga tak ada toleransi bagi kaum atheis.
Dengan ukuran jaman kini dia boleh dibilang teramat berlapang dada, tetapi beralasan memandangnya dari hubungan dengan ide-ide pada jamannya. Fakta mencatat, alasan-alasan yang dikemukakannya demi terciptanya toleransi agama lebih meyakinkan pembacanya dari pengecualianpengecualian yang dibuatnya. Kini, berkat adanya tulisan-tulisan Locke, toleransi agama sudah meluas bahkan pada golongan-golongan yang tadinya dikucilkan.
Pandangan dan Pemikiran John Locke
“ Ketika manusia lahir, pikiran manusia seperti kertas kosong yang menunggu untuk ditulisi oleh pengalaman di dunia selama hidupnya.”
John Locke mengeluarkan tiga pernyataan , yaitu :
1. Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong yang di sebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama perjalanan hidup melalui pengalamannya.
2. Filsafat ini secara epistimologis mengukuhkan aliran empirisme yang melawan aliran pemikiran rasionalisme.
3. Pandanganya mengarah pada esensialisme ilmiah, yaitu bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak ada
Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong yang disebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama perjalanan hidupnya melalui pengalamannya. Semua pengetahuan manusia diturunkan dari ide yang disajikan pikirannya setelah melalui pengalaman yang dialaminya. Ide dalam pikirannya itu memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan yang sederhana dan tingkatan yang kompleks.
Tingkaan yang sederhana adalah pengetahuan yang langsung di dapatakan dengan indra, seperti warna kuning, binatang, bintang, dan lain-lain. Dan pengetahuan kompleks yaitu yang riil, misalnya konsep pengetahuan tentang unicorn yang erupakan gabungan konsep kuda, konsep tanduk, dan konsep angka satu.
Dia juga mengategorikan kualitas objek sebagai kualitas primer dan sekunder. Kualitas primer merupakan sifat yang mendasar dan dapat melekat pada semua objek, seperti padat, panjang, gerak, diam, dan lain-lain. Kualitas sekunder merupakan hasil yang dapat dengan indra, seperti warna, bau, atau rasa. Disebut sekunder karena kualitas itu tidak melekat pada benda, tetapi muncul dari persepsi pikiran saat indra kita berinteraksi dengan suatu benda.
Cara lain untuk mengkategorikan kualitas primer dan kualitas sekunder adalah dengan menyebut kualitas objektif pada kategori kualitas primer dan kualitas subjektif pada kategorinkualitas sekunder. Kualitas objektif adalah kualitas yang melekat pada objek sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas hasil persepsi pikiran kita.
Konsep Pemikiran John Locke
Ada persoalan rumit yang muncul saat menggunakan konsep pengetahuannya untuk menjawab pertanyaan. Apakah pohon yang runtuh di tengah hutan itu tanpa ada orang yang dapat mendengarkan suaranya akan menimbulkan suara ?
Sebagai konsekuensinya, teori Locke akan menjelaskan bahwa runtuhnya pohon tida menimbulkan suara, hanya membuat getaran udara dan benda – benda di sekitarnya. Hal ini karena kualitas suara subjektif dan benda yang bergetar adalah kualitas objektif. Tanpa ada sensor indra, kualitas subjektif tidak akan ada. Pandangan ini disebut esensialisme ilmiah ( scientific essensialism), yaitu pandangan yang mengarah pada kesimpulan yang secara luas di pahami oleh para pemikir era modern bahwa tanpa pikiran yang mampu mempersiapkan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu tidak akan ada.
1. An Essay Concerning Human Understanding ( Uraian yang Membahas Pmahaman Manusia ).
John Locke meletakkan pondasi pengetahuan dan pemahaman manusia dengan penggambaran bahwa pikiran manusia yang baru lahir sebagai bayi mirip dengan kondisi kertas kosong yang belum ada tulisannya dan akan di tulisi sepanjang perjalanan hidupnya oleh pengalaman.
Argumen tersebut mengemukakan bahwa prinsip pengetahuan dasar bawaan lahir harus bersandar pada ide adanya sesuatu yang di bawa saat lahir. Menurutnya, hal seperti itu tidak
ada. Contohnya, kita tida dapat mengetahui bahwa kita harus menyembah Tuhan tanpa menyetujui, memahami, atau memercayai konsep tentang Tuhan dan keberadaan-Nya.
Pemahaman tentang Tuhan dan kepercayaan pada-Nya diketahui melalui pengalaman atau pembelajaran, dan tidak diketahui atau dibawa sejak lahir. Pembelajaran yang dialami oleh manusia di dapatkan dari proses pengindraan dan pengolahan pemikiran ( sensation and reflection).
2. Tabula Rasa
Tabula Rasa berasal dari bahasa Latin yang berarti dalam bahasa Inggris di terjemahkan menjadi blank slate yang dalam bahasa Iindonesia artinya “kertas kosong” dan sering jugaditerjemahkan menjadi “kertas putih” dengan konotasi bahwa putih bukanlah jenis warna, tetapi kosong. Ide tabula rasa sudah ada pada karya Aristoteles, De Anima atau tentang Jiwa. Aktualisasi intelektualitas itulah sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengenalan pembiasaan empiris dengan dengan objek di dunia ini, yang kemudian di olah menjadi konsep melalui metode silogistik pemikiran. Tahapan ini oleh Ibnu Sina juga dijelaskan dengan konsep perkembangan diri intelektual potensial menjadi intelektual aktif
Filsafat tabula rasa tidak memberikan ruang bagi paham yang berpendapat bahwa seseorang, dilahirkan dengan darah seniman, darah pengusaha, atau darah pekerja, atau darah – darah lain, dan menggambarkan bahwa manusia sudah di takdirkan untuk menjalani profesi tertentu sejak lahir.
Filsafat ini memberi motivasi pada kita bahwa kita dapat menjadi apapun sesuai dengan pilihan kita jika kita mau belajar. Lingkaungan memang memengaruhi jenis pengetahuan yang kita peroleh, tetapi ketika kita sadar bahwa kita memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk belajar merealisasikan pilihan kita.
PENUTUP
Aristoteles mengatakan bahwa setiap awalan memang merupakan pembatasan. Dengan menuntut transformasi tertentu dalam cara kita memandang kenyataan. Filsafat Hermeneutika, merupakan salah satu aliran dalam Post-modern, yang menghidupkan kembali (awal baru) terhadap klaim berakhirnya filsafat. Melalui bahasa secara implisit-eksplisit, interlinguistic-ekstralinguistic yang menunjuk pada kondisi dasar antropologi manusia yang bersifat tensive terhadap filsafat, rasionalitas dan kebenaran melaui metaforis, retorika dan imajinasi.
Dengan analogi ulat dan kupu-kupu. Kupu-kupu memang berasal dari ulat namun kupu-kupu bisa terbang sementara ulat tidak. Filsafat betapapun juga memiliki kemampuan untuk menjelaskan kenyataan lebih daripada metafor. Tetapi metafor dengan imaji-imaji bebasnya dapat menjadi sumber inspirasi tak habis untuk berpikir lebih jauh lagi. Kenyataan bahwa bahkan dalam bahasanya pun filsafat nyatanya sulit melepaskan diri dari metafor, hanyalah menunjukkan bahwa dalam kenyataannya pencarian kejernihan konsep memang senantiasa bersitegang dengan upaya untuk memelihara dinamika makna. Bahasa memang bersifat tensive dalam tegangan antara pembatasan perspektif dan keterbukaan, antara penggambaran dan penjelasan, antara ketepatan logis dan resonansi efektif psikologis.
Filsafat dengan bahasanya yang tensive itu lalu memang jadi sulit untuk diverifikasi maupun ditumbangkan secara tegas. Status ilmiahnya mau tak mau adalah hipotesis saja yang juga berguna untuk memperluas dan mengorganisasikan pemahaman kita tentang manusia, dunia dan kehidupan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Internet Encyclopedia of Philosophy
2. Russel, Bertrand 1945 . A History of Western Philosophy and Its conecction with Political and Social Circumitances from Earliest Times to the Prsent Day, Simon and Schuster : New York.
3. Standford Encyclopedia of Philosophy
4. Stokes, 2006. Philip, Philosophy 100 Essential Thinkers, Enchanted Lion Books: New York